Pernyataan Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa peristiwa Mei 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat memicu polemik dalam wacana hukum dan keadilan. Menurut Yusril, pelanggaran HAM berat mensyaratkan adanya tindakan yang sistematis dan meluas dengan kebijakan negara yang terstruktur, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
. Dalam pernyataannya, ia berargumen bahwa kekerasan saat peristiwa tersebut lebih merupakan tindak pidana individu dan bukan hasil kebijakan resmi pemerintah yang terencana dan terstruktur
Namun, pendapat ini mendapat kritik karena dianggap mengabaikan realitas fakta di lapangan. KontraS dan berbagai pihak menyatakan bahwa penembakan mahasiswa dan kerusuhan yang terjadi mencerminkan adanya pelanggaran sistematis yang melibatkan aparat keamanan negara.
Komnas HAM melalui KPP HAM juga telah menyimpulkan bahwa terdapat indikasi pelanggaran HAM berat, tetapi upaya hukum terhambat oleh sikap tidak kooperatif dari beberapa lembaga negara serta keputusan Pansus DPR yang menyebut tidak ada pelanggaran HAM berat.
Namun, Dua hari setelah pernyataannya mengenai peristiwa Mei 1998 menuai kontroversi, Yusril Ihza Mahendra memberikan klarifikasi kepada wartawan.
Secara etimologis, "pelanggaran" berasal dari kata dasar "langgar" yang berarti melewati batas atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks hukum, istilah ini merujuk pada tindakan yang melanggar ketentuan hukum atau norma yang berlaku.
Secara filosofis, pelanggaran mencerminkan perbuatan yang menyimpang dari aturan moral, hukum, atau adat yang diakui oleh suatu masyarakat. Misalnya, Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan menjelaskan bahwa tanpa aturan yang jelas, kekacauan akan muncul, sehingga hukum berfungsi untuk menjaga ketertiban dengan memberi batasan pada perilaku manusia.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir, bersifat universal, dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Istilah "right" dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin "rectus," yang berarti sesuatu yang lurus atau benar, mencerminkan bahwa HAM adalah hak yang benar dan adil untuk dimiliki setiap orang.
Filosof John Locke dalam Two Treatises of Government berargumen bahwa hak hidup, kebebasan, dan properti adalah hak fundamental yang harus dilindungi negara, dan pelanggaran terhadap hak-hak ini merupakan serangan terhadap keadilan dan kebebasan.
Pelanggaran HAM berat melibatkan tindakan sistematis atau meluas yang melanggar hak-hak dasar individu, seperti genosida, penyiksaan, atau perbudakan. Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1998 mengatur bahwa tindakan-tindakan ini tidak hanya melanggar hukum nasional tetapi juga melanggar norma-norma internasional yang diakui secara universal.