Lihat ke Halaman Asli

Ibu, Antara Harapan dan Kenyataan

Diperbarui: 22 Desember 2015   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjuangan melawan maut, raungan menahan rasa sakit dan erangan menerobos batas-batas kemampuan, dan kemudian sebuah kehidupan bersanding di antara semaraknya kehidupan-kehidupan di dunia ini. Ibu, demikianlah engkau dimahkotai pada saat hari kelahiran buah hatimu. 

Setampuk doa, harapan dan cita-cita diserukan dalam balutan doa. Tiada henti hati terus mengukirkan asa dan harapan. Terbayang jernih di pelupuk mata sang ibu suatu masa di hari depan. Masa ketika sang buah hati merengkuh keberhasilan. Masa ketika sang buah hati mencapai mimpi dan cita-citanya. Masa ketika sang buah hati tersenyum bahagia. Ya, diriku membayangkan bola mata yang jernih penuh kasih sayang menatap sang buah hati dan dibalik beningnya cahaya bola mata itu tersimpan berjuta harapan, berjuta doa dan pengharapan seorang ibu akan anaknya. 

Tetapi betapa banyak ibu yang harus menangis, jauh lebih menyakitkan dari sakitnya bersalin. Betap banyak ibu yang harus meratap dan merintih, jauh lebih pedih dari perjuangan melahirkan sang anak. Ketika anak yang dilahirkannya tidak menjadi sebagaimana yang diharapkan. Sang anak jatuh bergelimang dosa dan kejahatan. Terbuai akan nafsu memburu harta dan tahta. Dibutakan nuraninya untuk berjalan dalam kebenaran, alhasil tersesat di dalam kepicikan dan kelicikan.

Ibu tidak pernah berhenti berdoa dan berharap. Mulutnya tetap lembut memberi nasihat dan petuah. Ibu tidak pernah berharap muluk dan jumawa. Ia berharap bahwa anaknya kelak akan menjadi pribadi yang tulus berbudi luhur. Hidup dalam kejujuran dan kerajinan yang membawa manfaat. Menjauhkan diri dari berbagai kenistaan dan kejahatan. 

Ibu, hari ini mereka katakan sebagai Hari Ibu. Hari-mu wahai ibu. Lihatlah kami anak-anakmu. Seberapa dari kami telah membuat harapanmu merekah harum dan membuatmu bahagia. Atau seberapa dari kami telah membuat harapanmu layu dan tak kunjung berkembang, hancur dan punah dimakan zaman. 

Ibu, biarlah ucap selamat dan sembah takzim para anakmu tidak sekedar kecupan pada kedua tanganmu. Tangan yang menjadi saksi perjuanganmu menumbuh kembangkan kami. Biarlah ucap selamat tidak sekedar kecupan pada kedua pipimu. Pipi di mana peluh dan air mata pernah membanjirinya dalam perjuanganmu menghantarkan kami. Biarlah hidup kami membuatmu bersyukur memiliki anak-anak yang membuatmu bahagia, karena harapanmu tidaklah mati, melainkan berbunga indah di masa tuamu.

 

Sumber Gambar : https://siluetjingga.files.wordpress.com/2011/06/ibu.jpg




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline