Lihat ke Halaman Asli

Boy Anugerah

Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

"Delinking" Tiongkok yang Dilakukan dengan Komprehensif

Diperbarui: 20 Maret 2018   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber gambar: thedailyvox.co.za)

Medio 1990-an, muncul perdebatan besar di tanah yang disebut banyak orang sebagai "Utara" dan "Selatan", dua ranah yang sengaja dibuat berbeda karena kontrasnya situasi dan kondisi yang mereka miliki. Perdebatan tersebut berkutat pada sebuah pengandaian (sebuah kata yang lebih dramatis dari sebuah pengharapan) tentang apa yang terjadi di dunia ketiga jika pada abad ke 21, negara-negara maju macam Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman bertumbangan ekonominya.

"Kondisi akan lebih baik...", teriak mereka yang letih bertautan dengan Utara.

"Tidak, tidak, semuanya akan jauh lebih buruk karena tidak ada lagi yang mau menyorongkan tangan untuk membantu dunia ketiga, jangan tolak kedermawanan kami...", teriak para konglomerat dan bourgeose Utara. Sebuah perdebatan yang tentu saja kita tahu hasilnya karena kita sekarang sudah berada pada mileu pengandaian tersebut.

Sejak 2007, Tiongkok mengumumkan peningkatan anggaran militernya sebesar 17,8% yang kemudian dilanjutkan pada tahun 2008 sebesar 17,6%. Pesatnya Tiongkok di bidang militer tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang membubung karena perdagangannya yang sukses di dunia. Mereka sempat mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 11%, bahkan cadangan devisa mereka adalah yang terbesar di seluruh dunia dengan nilai sebesar 1,2 Triliun dolar AS.

Fenomena ini tentu saja membuat mereka yang mendukung kapitalisme bersorak gembira. Keberhasilan Tiongkok ini dianggap sebagai kemenangan kapitalisme. Saat ini, hanya Kuba dan Korea Utara yang kekeuh dengan ideologi komunisnya.

Pada sebuah forum ekonomi, Prebisch dari Argentina pernah berkata bahwa kemajuan di negara-negara Selatan bisa tercapai apabila ada sebuah koneksi yang simetris antara Utara dan Selatan. Simetri yang bisa terjadi karena kedua wilayah tersebut memiliki keunggulan yang sama yang bisa bergandengan satu sama lain, Utara dengan teknologinya dan Selatan dengan SDA-nya.

Namun sayang seribu sayang, simetri tak terwujud karena sistem yang terbentuk lebih condong ke satu pihak dan tentu saja merugikan pihak lain. Negara-negara Selatan bagaikan kuda kurus yang kesusahan mengangkut gerobak kekayaan alamnya sendiri.

Berbeda dengan Prebisch, Andre Gunder Frank bersuara lebih radikal. Dia menyuarakan perlunya sebuah delinking untuk menciptakan kondisi yang lebih baik di negara-negara berkembang. Relasi dengan Utara dinilainya tidaklah mutualis karena mereka berpolah layaknya Octopus yang menjerat mangsanya.

Kekayaan alam di negara Selatan seolah-olah menjadi kutukan bagi pemiliknya dan juga menjadi sebuah alasan bagi negara-negara Utara untuk terus melakukan kerja sama yang tidak simetris tersebut.

Kita bisa merujuk pada pendapat Kenichi Ohmae tentang dunia tanpa batasnya. Ohmae berpandangan bahwa di era globalisasi ini dunia menjadi satu dan batas-batas negara tidak relevan lagi untuk dibicarakan. Secara tersirat, Ohmae hendak menohok negara-negara komunis semacam Korea Utara dan Kuba yang dianggap kolot karena mempertahankan isolasi diri dari dunia internasional. 

Pendapat Ohmae ini bisa dilihat sebagai upaya tangan-tangan kapitalisme untuk merambah seluruh dunia dengan melakukan propaganda dan dekonstruksi pemikiran sehingga nantinya tidak ada lagi yang menolak konsep perdagangan bebas yang mereka sodorkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline