Ahmad Heryawan dan Tengku Erry Nuradi yang masing-masing adalah pejabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara, akan mengkahiri masa jabatannya pada bulan Juni 2018 mendatang. Untuk mengantisipasi kekosongan kekuasaan sebagai konsekuensi pelaksanaan Pilkada 2018, Kemendagri RI mengusulkan dua perwira tinggi Polri untuk menjadi penjabat gubernur di kedua provinsi tersebut.
Kedua perwira tinggi Polri tersebut masing-masing adalah Irjen Pol M. Iriawan yang diusulkan untuk menempati posisi sebagai penjabat gubernur di Provinsi Jawa Barat, serta Irjen Pol Martuani Sormin untuk Provinsi Sumatera Utara. Argumentasi yang dikemukakan oleh oleh Kemendagri RI terkait pengusulan dua perwira tinggi polisi tersebut adalah dengan pertimbangan keamanan di masing-masing wilayah.
Lebih lanjut, Tjahjo Kumolo, Mendagri RI, pada Kamis (25/1) di Jakarta menyatakan bahwa kebijakan pengusulan tersebut adalah hal yang lumrah. Sebelumnya pada Pilkada yang lalu, Kemendagri RI pernah menempatkan Soedarmo sebagai pelaksana tugas (plt) Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, serta Irjen Pol Carlo B Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada akhir 2016. Soedarmo pada saat itu adalah Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri RI dan mantan pejabat teras BIN, serta Irjen Pol Carlo B Tewu menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam RI.
Pengusulan kedua perwira tinggi Polri ini sontak menimbulkan resistensi publik. Hal ini disebabkan karena Polri, bersama dengan TNI dan ASN, adalah para pihak yang dituntut untuk menjaga netralitasnya selama pelaksanaan Pemilu. Jabatan sebagai gubernur provinsi, terlepas apapun embel-embelnya (penjabat, plt, dll), sudah jelas-jelas merupakan jabatan politis. Sedangkan tugas pokok Polri, berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya Pasal 13 adalah sebagai alat pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Memang benar bahwa penunjukan unsur kepolisian ini tidak an sich salah. Ada beberapa sirkumstansi dan celah secara hukum yang menjadi justifikasi para pendukung kebijakan ini. Pertama, merujuk pada informasi yang disampaikan Mendagri RI bahwa saat ini banyak pejabat eselon I di Kemendagri RI masih berstatus sebagai pelaksana tugas (plt), sedangkan yang dapat diusulkan untuk menjadi plt atau penjabat gubernur provinsi adalah mereka yang berstatus sebagai pejabat tetap dan berada pada level eselon I.
Kedua, ada celah hukum pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yakni pada Pasal 28 Ayat (3), bahwa setiap anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Karena berstatus sebagai penjabat yang notabene bersifat sementara, maka mereka yang diusulkan dari Polri tidak wajib pensiun.
Bagaimana menyikapi kondisi ini? Selagi penunjukan ini masih bersifat usulan, perlu dilakukan kalkulasi secara presisi dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan dan prioritas dan pada tataran yang lebih tinggi, ketahanan nasional Republik Indonesia dapat terjaga dengan baik.
Penulis berpendapat sebagai berikut. Argumentasi yang dikemukakan Kemendagri RI dengan menyatakan bahwa stabilitas keamanan di wilayah Jawa Barat dan Sumatera Utara menjadi pertimbangan utama penempatan tersebut terasa kurang relevan. Secara implisit, Kemendagri RI hendak menyatakan bahwa kepemimpinan sipil (ASN) kurang "bertaji" untuk mengendalikan wilayah dengan fragilitas keamanan politik yang tinggi seperti kedua provinsi tersebut.
Lebih lanjut, alasan tersebut seakan paradoksal apabila kita merujuk pada fragilitas keamanan di Pilkada DKI Jakarta setahun silam. Apabila dibandingkan dengan DKI Jakarta, tentu saja level dan gradasi ancaman di Jawa Barat dan Sumatera Utara berada jauh di bawah. Pertanyaannya, dengan level ancaman yang lebih tinggi, terlebih lagi dibumbui dengan drama pembelahan sosial di masyarakat melalui isu penistaan agama oleh Ahok, mengapa penjabat gubernur yang ditunjuk adalah Soni Sumarsono yang notabene kepakarannya adalah dalam hal otonomi daerah, bukan pengandalian stabilitas keamanan?
Perlu diketahui bahwasanya isu keamanan saat ini sudah berkembang luas secara definisi. Keamanan tidak lagi berada pada tataran bebas dari hal-hal yang mengancam secara fisik melalui penggunaan unsur kekerasan dan senjata saja, tapi telah meluas pada hal-hal yang sifatnya esensial, seperti hak asasi manusia, kesetaraan jender, lingkungan hidup, bahkan keamanan akan sandang, pangan dan papan. Resultansinya, keamanan bukan lagi menjadi domain utama kepolisian. Ini secara filosofis, bukan legal formal. Keamanan menjadi tanggung jawab semua pihak, baik yang berstatus sebagai aparatus negara (dalam hal ini merujuk pada UU No. 2 Tahun 2002 adalah Polri), maupun masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang fokus pada Pilkada bersih (masyarakat madani yang peduli).
Hal lainnya yang bisa menjadi pertimbangan bahwa penunjukan kedua unsur Polri ini memang tidak diperlukan adalah bobot pekerjaan dari Polri sendiri. Dalam kaitannya dengan Pilkada 2018, tanggung jawab Polri sangat berat. Merujuk pada apa yang terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta, Polri tidak hanya mengerahkan personel dalam jumlah yang besar saja, tapi menguras otak agar menerapkan strategi pengendalian yang tepat, tetap menjunjung prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, tidak menggangu aktvitas masyarakat umum, pengendalian diri agar tidak terpancing menggunakan instrumen kekerasan, belum lagi mempertimbangkan besarnya biaya operasional untuk pengamanan.