Lihat ke Halaman Asli

Ancaman Radikalisme Islam terhadap Kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Keberagaman Indonesia baik dari sisi etnisitas, agama kultur masyarakat, selama ini menjadi sebuah identitas dan karakter dari masyarakat Indonesia. Sejak dahlu Indonesia telah menjadi pertemuan perdagangan antar benua. Sejak zaman Sriwijaya, Indonesia menjadi pusat pengajaran agama Budha yang terbesar. Selain pusat pendidikan agama Budha, Sriwijaya juga menjadi sebuah kerajaan maritim yang kuat dengan berkembangnya perdagangan dengan India maupun China. Sejak keruntuhan Sriwijaya, posisi sebagai kerajaan penguasa di Nusantara beralih kepada Majapahit. Majapahit merupakan sebuah kerajaan maritim dan agraris yang terletak di Jawa Timur. Masyarakat pelautnya telah melakukan perdangan dari ujung timur Indonesia hingga pesisir timur Afrika. Sebagai kerajaan besar, Majapahit menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Asia sehingga tentu saja, Majapahit memiliki masyarakat yang majemuk baik dalam hal agama maupun etnis. Sejak berdirinya, para raja kerajanaan Majapahit dipercaya sebagai seorang titisan dari Budha, Siwa dan Wisnu. Kebiasaan ini telah ada sejak berdirinya kerajaan Singasari, dimana raja untuk menyatukan masyarakatnya yang beragam kepercayaan berinisiatif untuk memegang dua agama yang berbeda. hal ini bertujuan mengharmoniskan kehidupan masyarakatnya yang pada waktu itu terdiri dari para pemeluk Budha dan Hindu. Raja-raja Majaphit turut melakukan hal yang sama, dan hal ini, selain merupakan salah satu tujuan politik para raja untuk mempersatukan rakyatnya juga berguna untuk mengajarkan akan toleransi kehidupan beragama.

Dengan semakin berkembangnya perdagangan, orang-orang yang tinggal di kerajaan Majapahit dan menjadi rakyat kerajaan menjadi lebih beragam. Pada tahun 1200-an masehi diketahui bahwa kawasan pesisir utara Jawa Timur telah banyak di tinggali oleh komunitas muslim yang berasal dari Arab, Parsi, danIndia. Perkembangan komunitas Muslim sebagai dampak penyebaran Islam di Asia yang menjadi mitra perdagangan dengan kerajaan Majapahit. Dengan perkembangan ini, maka masyarakat lokal yang tinggal di daerah pesisir utara Jawa Timur mulai untuk mengenal dan mengganti agamanya menjadi Islam. Pengaruh ini pun didukung oleh kalangan kerajaan Majapahit dan ditunjukkan dengan banyaknya keluarga kerajaan yang turut menganut Islam. Kita dapat melihat bahwa toleransi beragama di kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mencerminkan bahwa toleransi beragama merupakan sebuah warisan nenek moyang kita yang telah lama ada di tanah air ini. Sebuah bukti bagaimana toleransi antar agama berlangsung di kerajaan Majapahit dapat dilihat melalui karya sastra, kakawinan Sutasoma, dari seorang Mpu di kerajaan Majapahit, yang menceriterakan bagaimana keadaan toleransi yang berkembang di zaman Majapahit dulu, dengan kalimatnya yang terkenal “Bhineka Tunggal Ika”.

Motto Bhineka Tunggal Ika dalam alam Indonesia moderen saat ini masih relevan, terlebih lagi saat ini kemajemukan masyarakat Indonesia telah melebihi beberapa abad yang lalu. Bayangkan saja saat ini kita memiliki beragam etnis dan ras masyarakat yang tinggal di Indonesia. terlebih lagi beragamnya kebudayaan dan juga tentunya agama dan kepercayaan masyarakat. Para founding father Indonesia moderen telah membahas hal tersebut sejak sebelum Indonesia belum merdeka. Ir. Sukarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI, mengungkapkan bahwa falasafah Indonesia telah ada sejak lama dan hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dia mengusulkan dasar negara baru yang akan dibentuk yang terdiri dari rumusan Pancasila, yang terdiri dari: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internationalisme atau peri kemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial; dan 5. ketuhanan yang berkebudayaan. Dari lima sila yang diusulkan dapat di sederhanakan menjadi tri sila yang terdiri dari: (1) Socio nasionalisme; (2) Socio demokrasi; dan (3) Ketuhanan. Ketiga sila ini dapat disederhanakan lagi menjadi “gotong royong”.

Selain usulan Ir. Soekarno, sebelumnya M. Yamin juga turut mengusulkan mengenai dasar negara yang terdiri dari : 1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; 5. Kesejahteraan Rakyat. Akhir dari perdebatan panjang ini adalah disetujuinya Pancasila menjadi falsafah bangsa oleh para founding father Indonesia yang juga terdiri dari beragam latar belakang tokoh-tokoh agama dan politik tersebut. Sehingga format Pancasila menjadi : 1. Ketuhanan yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. kemudian Pancasila sebagai falsafah negara dimasukkan dalam pembukaan konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sebagai hukum tertinggi yang ada di Indonesia.

Filosofi dan Konsensus Bangsa Indonesia

Pancasila sebagai falsafah negara menjadi sebuah kesepakatan bersama, memberikan penjelasan yang gamblang mengenai tujuan hidup bangsa Indonesia. Lima sila dalam Pancasila menjadi dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) Melindungi segenap dan seluruh tumpah dara Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (iii) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial (Asshiddiqie, Jimly). Selain kesepakatan mengenai Pancasila sebagai falsafah negara, kesepakatan selanjutnya adalah basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie menyatakan kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Selanjutnya kesepakatan ketiga adalah (1) mengenai bangunan oragan negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (2) hubungan-hubungan antar organ negara itu antar satu sama lain; dan (3) hubungan antar organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan kesepakatan-kesepakatan ini maka konstitusi negara dapat dirumuskan dengan baik.

Pancasila memiliki peranan sebagai dasar filosofi dan alat pemersatu bagi bangsa, artinya dari kemajemukan masyarakat Indonesia, Pancasila menjadi tujuan dan dasar hubungan antar masyarakat dan negara. Pancasila sendiri menjamin kehidupan setiap warganegara Indonesia baik itu hak-hak individu maupun hak-hak berkelompok dan bermasyarakat. Pancasil sebagai sebuah filosofi/ ideologi negara lebih bersifat fleksibel namun tidak libral dan tidak cendrung kiri. Pancasila lebih pada menampilkan kekuatan genuin dari rakyat Indonesia yang majemuk untuk bergotong royong mencapai sebuah tujuan bersama seperti yang telah diungkapkan diatas. Sehingga Pancasila mengakui kemajemukan rakyat Indonesia dalam sebuah bingkai Bhineka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konsensus bersama yang mengatur tata kehidupan tersebut di alam Negara Republik Indonesia.

Sebagai sebuah konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, menjadi pegangan tertinggi bangsa Indonesia dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan pada hukum. Untuk itu, Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sebuah konsesus bersama oleh bangsa Indonesia untuk mematuhinya. Tanpa ada konsensus bersama diantara bangsa Indonesia, maka sebuah konstitusi tidak memiliki arti yang besar, karena tidak menjadi sebuah kewajiban untuk taat dan patuh terhadap konsensus bersama tersebut.

Tantangan terhadap kemajemukan Indonesia

Sejak tumbangnya Orde baru, Indonesia telah menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di Dunia, hal ini tidak lepas dari semakin kian terbukanya sistem perpolitikan Indonesia yang berbarengan dengan meningkatnya kebebasan pers nasional. Kebebasan demokrasi yang terjadi, membangkitkan kembali aspirasi partai-partai yang bersifat keagamaan. hal tersebut ditandai dengan banyaknya partai-partai agama (baik Islam maupun Kristen) yang mengikuti pemilu 1999. Seiring dengan bangkitnya partai-partai yang beraliran agama, dimasyarakat juga berkembang organisasi-organisasi keagamaan Islam 100. Organisasi masa yang mengatasnamakan agama diawali dengan terbentuknya Front Pembela Islam di tahun 1998 dan diikuti dengan terbentuknya Gerakan Islam Reformis (GARIS) di Cianjur, Tholiban di Tasikmalaya, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta dan banyak lagi organisasi-organisasi lainnya. Perkembangan ini merupakan dampak dari peluang dari keterbukaan politik Indonesia yang selama Orde Baru memberikan tekanan terhadap aspirasi di kalangan kelompok Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline