September Ceria! Lantunan lembut nan gembira dari si burung camar, Vina Panduwinata, seorang diva kawakan negeri ini seringkali menyapa kita di setiap saat bulan September menjelang. Entah melalui medium televisi, radio, ataupun jingle-jingle di pusat perbelanjaan. Pesannya jelas, mengandaikan adanya bulan September yang penuh dengan kebahagiaan dan harapan.
Namun, pada kenyataannya, September bagi masyarakat di negeri ini kadung (selalu) dihubungkan dengan sebuah episode kelam dari perjalanan bangsa ini yang jelas bertentangan dengan spirit keceriaan dan kegembiraan dari tembang lawas tadi. Bagaimana tidak, publik seakan selalu diingatkan dengan narasi percobaan kudeta serta pembantaian sekelompok Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diduga dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), tepat pada bulan September, 52 tahun silam.
Ironisnya, narasi kontroversial ini kembali menguat dewasa ini, setelah sebelumnya pada masa awal pasca-reformasi, keberadaannya dinilai sudah sedemikian tidak relevan di kalangan masyarakat. Dimulai dari sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu, di saat gosip miring terkait PKI menerpa pencalonan Presiden saat ini, Joko Widodo; dilanjutkan dengan merebaknya isu negatif mengenai dugaan rencana Pemerintahan Jokowi untuk meminta maaf kepada para mantan anggota PKI; hingga yang terkini, penyerangan kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terkait dengan tuduhan penyelenggaraan seminar kebangkitan PKI.
Tidak berhenti sampai disitu, seperti yang telah kita ketahui bersama, ranah politik tanah air kembali memanas dengan isu ini melalui adanya rencana pemutaran ulang Pengkhianatan G30S/PKI, yang dicetuskan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Sebenarnya film propaganda Orde Baru ini sudah cukup lama tidak ditayangkan. Film ini pernah dihentikan penayangannya atas permintaan berbagai pihak pasca terjadinya reformasi, dengan alasan bahwa negara ini tidak mungkin merajut semangat kebangsaan dan persatuannya jika tetap ada elemen-elemen di dalam masyarakat yang masih memiliki rasa kebencian dan permusuhan yang besar. Pada akhirnya, oleh Menteri Penerangan zaman Gus Dur, Yunus Yosfiah, film ini dengan resmi dihentikan penayangannya.
Eskalasi tensi politik terkait kontroversi PKI ini sendiri dapat dilihat secara jelas di dalam dunia media sosial (medsos) dewasa ini. Sesaat sebelum Panglima TNI menginstruksikan pemutaran film tersebut, ruang medsos sudah diramaikan dengan berita, posting, ataupun cuitan mengenai ancaman kebangkitan PKI, terutama sejak kemunculan peristiwa pengepungan kantor LBH Jakarta pada pertengahan September lalu. Sasarannya? Apalagi kalau bukan terhadap pemerintah. Ada yang secara implisit menggunakan gunjingan-gunjingan halus untuk menggerus kepercayaan rakyat terhadap Presiden Jokowi, dan tidak sedikit pula yang secara terang-terangan menuding Presiden membiarkan kemunculan kembali PKI.
Selain itu, sirkulasi fitnah ini celakanya juga terjadi di banyak ruang publik, terutama di sejumlah Masjid. Tidak berbeda dengan Pilgub DKI beberapa bulan lalu, para pengkhotbah ini juga sudah mulai mengeluarkan jurus yang sama saat dipakai untuk menjungkalkan Ahok melalui proses Pilgub yang penuh hasutan dan kebencian. Bedanya, jurus yang dipakai oleh kubu yang berseberangan dan merasa tidak puas dengan kebijakan Jokowi ini mewujud kepada satu bualan usang yang selalu direpetisi, yaitu bahwa Presiden adalah salah seorang pendukung PKI.
Dari sejak awal kampanye Pilpres 2014, tudingan semacam ini sudah pernah dihembuskan oleh lawan-lawan politik Jokowi. Bahwa ia adalah seorang keturunan Tionghoa, memiliki silsilah keluarga yang tidak jelas, ataupun anak PKI. Tapi nyatanya, toh semua tuduhan itu tidak terbukti. Kemunculan semua dongeng fiktif ini terjadi hanya karena Jokowi terbukti sangatlah sulit untuk dijatuhkan secara normal dan jantan. Agenda pembangunan dengan Nawacita-nya Presiden sudah mulai menampakkan hasilnya. Dan melalui penerapan Revolusi Mental, Jokowi juga sudah mulai membuat gelisah lawan-lawan politiknya yang kotor.
Kembali ke wacana pemutaran ulang film Pengkhianatan G30S/PKI, Penulis sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan kegiatan pemutaran film ini. Namun, seperti yang sudah-sudah, penulis beranggapan bahwa isu-isu terkait PKI ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu kepentingan politik.
Pemutaran film ini direncanakan untuk diputar secara serentak dengan sasaran penontonnya adalah generasi milenial, yang terdiri dari anak-anak yang masih duduk di bangku SMP, SMA ataupun Universitas. Anak-anak muda ini relatif buta mengenai sepak terjang kekejaman PKI di tahun 1965, suatu realita yang kita dari generasi tua sama-sama menyetujuinya.
Namun, apa hubungannya dengan generasi milenial ini?
Nah...penulis membacanya sebagai berikut, sebenarnya bagi kubu penentang Jokowi, momen ini dapat dianggap sebagai sebuah upaya untuk menabung amunisi sejak dini. Penayangan film ini diharapkan dapat memunculkan realisasi di dalam diri generasi milenial ini mengenai betapa biadabnya aktivitas PKI itu. Propaganda ini tentunya akan tersimpan lama di dalam memori pikiran mereka.