Lihat ke Halaman Asli

Kawan Baik

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Bonifasius  Bulu

Aku belum bisa percaya akan berita yang dibawa pak Chris tadi pagi. Juga berita-berita di televisi yang membabi buta dan menurutku terlalu berlebihan. Tidak mungkin pak Karolus melakukan semua itu, tidak mungkin. Aku mengenal pak Karolus sejak SMP, seterusnya kami selalu bersama di SMA, hingga masa-masa kuliah. Aku mengenal beliau luar dalam. Tidak mungkin orang yang jujur, tulus dan membenci ketidakadilan macam pak Karolus melakukan hal yang justru bertentangan dengan kejujuran dan keadilan. Tidak mungkin!

Setiap hari bahkan setiap jam, aku mendengar berita atau obrolan-obralan di sela-sela istirahat siang tentang pak Karolus. Berita-berita itu, bikin sakit telinga. Awalnya mereka juga tak percaya, kemudian datang berita yang lain, yang membuat mereka percaya, kemudian muncul rasa marah, dan kemudian caci maki dan sumpah serapah yang keluar dari mulut mereka. Dan pak Chris, juga pak Jhony yang notabene kawan baik pak Karolus juga ikut-ikutan membenci dan mengutuki pak Karolus. Aku tak habis pikir, kok bisa begitu. Menyimpulkan sesuatu dari hal yang belum pasti.

“Pak Karolus itu, orang paling munafik di negeri ini, paling munafik. Menyesal aku berteman denganya,” ujar Pak Chris di sela-sela istirahat siang.

“Dulunya, ia terang-terangan membenci ketidakjujuran, membenci ketidakadilan, membenci korupsi. Kau tentu masih ingat kawan, saat kita bersama-sama turun ke jalan, menentang rezim yang korup di negeri ini! Pak Karolus berada di barisan depan, sekarang kau lihat, ia sudah jadi taik, rakus, menghabiskan uang negara, inilah hasil dari reformasi, pribadi yang korup,” tambah pak Chris.

Sakit juga telingaku mendengarnya.

“Pak Karolus itu, setelah masuk dalam sistem, masuk partai, terpilih jadi kepala daerah, bukannya, memperjuangkan kemakmuran bersama, malah memperjuangkan kemakmuran pribadi, hehehehe menyedihkan sekali, bisa-bisanya ia berubah pikiran secepat itu,” tambah pak Jhony.

“Barangkali ia sudah dirasuki setan,” ucap yang lain

“Mungkin dulu ia hanya mencari pamor, berlagak jujur, berlagak adil. Setelah pamornya naik, diincar oleh partai, kemudian mengucapkan janji-janji suci saat pemilihan kepala daerah, nah, sekarang hasilnya nol besar, noool besar. Bikin malu saja,” ujar yang lain lagi.

Sakit benar telingaku. Sakit benar hatiku mendengarnya. Aku berjanji tak mau mendengar omongan orang-orang ini, juga berita-berita di telivisi. Biarlah waktu yang membuktikan kebenarannya. Kalaupun waktu tak dapat membuktikan, biarlah Tuhan yang tahu kebenaran itu, memberikan jalan kebenaran. Dan semua omong kosong ini akan berakhir.

Kini Semakin hari semakin gencar pula pemberitaan tentang kasus Pak Karolus itu. Datang juga Pak Chris dan pak Jhony, membawa berita kalau pak Karolus sudah di tahan oleh pihak yang berwajib atas kasus korupsi. Saking gencarnya berita-berita itu, membuat hatiku dan pikiranku terusik juga, rasa tidak percaya itu perlahan-lahan mulai memudar diganti rasa ragu akan sikapku sendiri. Aku pun berjanji akan mendengar sendiri dari Pak Karolus, tidak dari Pak Chris, tidak dari Pak Jhony, tidak juga dari telivisi.

Akhirnya, aku mengirim pesan pada Pak Karolus dan menanyakan tentang kebenaran berita-berita itu. Namun tak pernah di balas. Nomor handphonenya tak aktif. Aneh sekali, biasanya ia akan membalas pesanku sesibuk apapun dia, bahkan ia sering menghubungiku mensyeringkan program-program pengembangan masyarakat yang akan ia laksanakan. Hatiku jadi galau. Bisa jadi berita-berita itu benar adanya. Mengapa ia tak memberitahukan yang sebenarnya padaku? Apa ia malu? Malu karena selama ini hanya kebohongan yang ia hidupi? Ya Tuhan mengapa prasangka ini datang padaku! Ya Tuhan semoga ini tidak benar.

Namun semakin hari, perasaan ini tak dapat kutepis juga.  Aku harus bertemu empat mata dengan Pak Karolus, agar semuanya jadi jelas. Aku pun meminta cuti untuk beberapa hari dari pekerjaanku. Sebelum berangkat, kusempatkan diri melihat-lihat kembali foto-foto masa-masa kuliah. Foto-foto saat jadi aktivis demonstrasi, saat kami berjibaku bersama petani-petani menentang eksploitasi lahan-lahan milik petani yang mengandung pasir besi. Kami tak pernah takut akan ancaman-ancaman yang datang dari pemerintah atau dari pihak-pihak lain yang berkepentingan. Bagi kami memperjuangkan keadilan adalah kewajiban bagi semua orang. Dan pak Karolus berada di barisan paling depan, dalam salah satu foto, ia terlihat gagah saat berpidato di hadapan banyak orang.

Pak Karolus juga seorang penulis, seringkali tulisannya dimuat di media-media massa. Dan tulisannya berisi ide-ide brilian dan revolusioner. Di masa-masa itu kami sering kali mengikuti diskusi-diskusi politik, dan aktif dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan. Setelah selesai kuliah semangat itu terus kami bawa. Aku memutuskan menjadi guru di pelosok daerah, cita-citaku membangun daerah dari akar. Atas dukungan kami, pak Karolus masuk partai dan ikut dalam percaturan politik negeri ini. Awalnya ia menolak, tapi kami mendukungnya untuk maju. Salah satu cara untuk memperjuangkan keadilan adalah masuk dalam sistem politik yang bobrok kemudian merubahnya dan membuka jalan bagi keadilan yang lebih baik.

Karier Pak Karolus dalam dunia politik sangat baik. Popularitasnya menanjak. Dengan dukungan partainya, ia dicalonkan menjadi kepala daerah. Banyak program-program yang ia canangkan untuk kemajuan daerah. Ia menang telak dalam pemilu. Sebagai kawan baik, aku sangat senang dan bangga padanya. Aku mendukung program-program yang ia canangkan.

Dalam dua tahun periode kepemimpinannya, banyak hal yang ia rubah dan terjadi peningkatan di berbagai sektor. Ekonomi daerah kami cukup maju dan berdasarkan ekonomi kerakyatan. Ia menolak produk-produk luar daerah masuk ke daerah kami, sebaliknya memaksimalkan produk-produk lokal untuk kemakmuran rakyat. Tentu kami juga senang akan usaha keras Pak Karolus. Kami merasa apa yang selama ini kami perjuangkan itu bisa terwujud.

Di akhir masa jabatannya yang akan berakhir tahun depan. Pak Karolus telah bersiap untuk maju lagi dalam pemilihan kepala daerah. Hal itu ia ungkapkan langsung padaku, dan meminta untuk turut bergabung dalam tim suksesnya. Aku dengan senang hati menerimanya, dengan dasar untuk sebuah perjuangan akan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Segala telah dipersiapkan. Kami mendukungnya, dengan ikut mempopulerkan Pak Karolus. Semuanya itu berjalan sesuai rencana.

Kemudian datanglah berita yang tak mengenakkan hati itu, yang merubah segalanya. Membayangkan semua yang telah terjadi itu, aku masih juga tak percaya akan berita itu. Pak Karolus menggelapkan sebagian APBD? Pak Karolus Korupsi? Jelas itu keliru dan bohong besar.  Aku pikir, itu semua jebakan dari lawan-lawan politik Pak Karolus, untuk menciptakan kesan negatif yang berakibat merosotnya popularitas beliau dan ia pastinya tak bisa maju dalam pemilu berikutnya. Itu jelas sebuah jebakan dan strategi politik lawan. Aku harus bertemu Pak Karolus. Mendukungnya, kalau diisinkan aku akan bersaksi dan membela Pak Karolus.

Di saat pikiran lagi kacau, datang sebuah berita yang bikin copot jantungku dan bikin aku senang gilang gemilang juga. Pak Karolus dinyatakan bebas dari tuduhan penggelapan dana APBD. Oh syukur pada Tuhan, kebenaran itu terbukti. Tuhan selalu berpihak pada kebenaran. Badan dan pikiran yang tegang ini jadi kendur. Dengan senang hati aku bergegas ke rumah pak Karolus. Bertemu dengan beliau dan mengucapkan selamat padanya. Tentu ia pasti akan senang. Aku akan bilang padanya bahwa peristiwa ini adalah bagian dari perjalanan memperjuangkan keadilan dan kemakmuran rakyat.

Aku berangkat dari desa dengan bis. Perjalanan ke kota itu makan waktu sekitar lima jam. Dalam perjalanan pikiranku tak tentu arah. Penumpang bis ramai-ramai membicarakan kepala daerah yang menurut mereka baik dan juga jahat. Semua orang ramai-ramai membicarakan keputusan itu. Ada yang mengharapkan ia masuk penjara ada pula yang mendukung keputusan pengadilan  tersebut.

Aku tiba di rumah pribadi Pak Karolus ketika waktu sudah hampir tengah malam. Berdasarkan pengalamanku, jam seperti ini ia pasti ada di rumah. Melaksanakan kebiasaan membaca atau menulis. Rumah Pak Karolus malam itu terlihat sepi, ada beberapa mobil yang parkir di depan rumah. Kupencat bel rumah. Beberapa saat muncul istri Pak Karolus. Ia kaget ketika melihatku di depan pintu. Ia kemudian masuk lagi, kemudian muncul lagi dengan pak karolus.

“Hai pak Martin, senang sekali melihat kau datang, mari masuk, mengapa tak memberitahu dulu kalau mau datang?” tanya beliau.

“Aku sengaja tak memberi tahu, lagi pula nomor handphonemu, tidak aktif,” jawabku

“Oh ya, sejak masalah itu, kau tau sendiri, banyak sekali pesan yang tak masuk akal, dukunganlah, ancamanlah, bikin rumit situasi saja, makanya saya menonaktifkan nomor handphone,” jawab beliau lagi.

“Ya, saya mengerti. ngomong-ngomong selamat untuk kemenanganmu di pengadilan,” kataku.

“Ya, terimakasih untuk dukunganmu, kawan!”

Ia mengajakku masuk ke sebuah ruangan yang agak asing bagiku. Di sana duduk beberapa orang yang juga asing di mataku. Ketika melihatku, orang-orang itu memasang wajah curiga dan heran. Seorang memanggil Pak Karolus dengan kode, kemudian membisikkan sesuatu. Setelah itu, Pak Karolus melihat kearahku dengan tatapan mata tajam.

“Tenang saja, kalian tak usah takut, dia kawan baikku, dia bisa menjaga rahasia, benarkan pak martin?” tanya beliau

Aku hanya mengangguk tak paham.

Kemudian sesuatu yang tak pernah terlintas dipikiranku pun terjadi. Istri Pak Karolus membawa sebuah koper berisi uang tak terkira jumlahnya, meletakkan di atas meja. Mereka berbicara hal yang jelas-jelas aku pahami. Sesuatu yang dahulu kami tentang, yang kami sebut sogok-menyogok, mafia hukum dan sebagainya. Pak Karolus menatap ke arahku dengan sorotan mata tajam.

“ Kawan, kita harus sedikit berimprovisasi soal yang beginian, dengan sedikit uang kita bisa membeli kebebasan, ku harap kau bisa menjaga rahasia, kawan,” ucap Pak Karolus padaku dengan mata tajam, dan tak tersenyum sedikitpun.

Mendengarnya Aku seperti tertimpah batu besar panas seukuran rumah Pak Karolus yang dijatuhkan oleh setan-setan dari langit-langit rumah. Aku seperti dicekcoki makanan berbau busuk ke dalam mulutku oleh setan-setan yang berkeliaran dalam rumah. Kemudian sekonyong-konyong aku merasa kepanasan dan mual ingin mutah. Aku keluar lewat pintu belakang rumah. Rasa mual itu tak dapat kutahan. Kukeluarkan semua yang berbau busuk itu dari mulutku. Samar-samar kudengar tawa, makin dekat, melengking memecahkan telingan.

“Martin! Martin! Tetap saja dia kawanmu, kawanmu martin! Tetapi bukan kawan yang baik. Bukan kawan yang baik seperti yang kau pikirkan”

Tawa itu menjadi-jadi. Memekakkan telinga. Memecah kesunyian malam.

Baciro, 14 Oktober 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline