Salus Publica Suprema Lex
Kericuhan yang ditimbulkan oleh UU MD3 dan UU Pilkadal--termasuk perpu yang akan mementahkannya--tidak bisa lain merupakan bukti betapa penyelenggara kekuasaan negara Republik Indonesia kini adalah orang-orang yang TIDAK PANTAS mengemban amanat itu. Semua saja tanpa terkecuali! Ketika semua saja mengklaim manuver dan akrobat politiknya adalah "demi rakyat," pada saat itulah sesungguhnya yang mereka pikirkan hanya keselamatan diri sendiri, keluarga dan gerombolannya. Semua yang kita dengar dari mulut-mulut mereka melalui media massa tidak lebih dari "komidi omong."
Undang-Undang di Indonesia merupakan satu-satunya legislasi, (legislation) yang disebut begitu karena merupakan satu-satunya produk hukum (act) yang berlakunya mendapat persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya--bila bukan kehendak rakyat itu sendiri. Jika negara-negara lain mengenal beberapa bentuk legislasi, maka di Indonesia hanya satu itulah, Undang-Undang, yang merupakan legislasi. Sebagai kehendak rakyat--sesuai pepatah latin salus publica suprema lex (kehendak rakyat adalah hukum tertinggi)--hendaknya kekuasaan tertinggi dalam negara itulah yang memberlakukannya menjadi undang-undang. (princep legibus solutus est; raja menetapkannya menjadi undang-undang)
Princep Legibus Solutus Est
Pepatah latin ini semakna dengan pepatah Jawa sabda pandita ratu. Kata-kata seorang raja adalah bagaikan kata-kata Tuhan itu sendiri-artinya tidak boleh plin-plan. Siapakah pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia? UUD 1945 yang asli punya jawaban tegas untuk pertanyaan ini: MPR. Amandemen terhadapnya menghilangkan konsep pewujudan kekuasaan tertinggi dalam negara, sehingga tidak lagi die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der Majelis. (kekuasaan negara seluruhnya terletak semata-mata pada Majelis) Padahal, diletakkannya kekuasaan negara seluruhnya pada MPR bertujuan untuk menjamin tertib hukum, agar negara diselenggarakan berdasarkan hukum, (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka. (maachtsstaat)
Tepat itulah yang terjadi sekarang! Kekuasaan negara dibagi-bagi sampai menjadi remah-remah tak berarti, diberikan pada berbagai-bagai "lembaga negara." Pengisian lembaga-lembaga negara ini sebisa mungkin dilakukan secara "demokratis," artinya serba dipilih langsung oleh rakyat. Akibatnya, semua saja merasa punya legitimasi demokratis. Akhirnya, satu sama lain terus mencoba saling mengakali, karena hukum yang mengatur susunan dan kedudukan lembaga-lembaga itu toh mereka sendiri yang membuat. Kedaulatan rakyat berhenti cukup di bilik-bilik suara. Selebihnya, negara diurus melalui "proses politik" (baca: kekuasaan) di antara wakil-wakil terpilih, baik legislatif, eksekutif, judikatif, pusat maupun daerah. Undang-Undang kehilangan wibawanya.
Buat Undang-Undang, Ubah Undang-Undang
Sebenarnya sungguh jengah membicarakan kedua topik ini, UU MD3 dan Pilkadal. Akan tetapi bagaimanapun tetap harus dibicarakan demi masa depan sistem hukum nasional. Kedua UU yang membuat ricuh itu menunjukkan bahwa Indonesia TIDAK PUNYA sistem hukum. Legislator sampai kebanyakan mahasiswa hukum tidak punya kesadaran akut mengenai ketiadaan sistem hukum di Indonesia. Ini dapat diilustrasikan dengan salah dua simpulan favorit mahasiswa ketika menyusun skripsi, tesis bahkan disertasi, sebagai berikut.
- Hal ini belum diatur di Indonesia, karena itu harus dibuat undang-undang mengenainya; dan/atau,
- Hal ini sesungguhnya sudah diatur di Indonesia, tetapi kurang tepat/ memadai, karena itu undang-undang mengenai hal tersebut harus diubah.
Jika kebodohan seperti ini dilakukan di ruang sidang tugas akhir, risiko terbesarnya paling ditunda kelulusannya. Namun jika kebodohan ini dilakukan di sidang paripurna legislatif, risiko terkecilnya adalah dijalankannya negara berdasarkan "proses politik" belaka. Artinya, jangan lagi bicara kepentingan rakyat, yang ada adalah kepentingan begundal-begundal haus kuasa itu! Legislasi yang seharusnya berwibawa, sebagai hukum tertinggi, yang ditetapkan oleh kekuasaan tertinggi dalam negara, turun derajat menjadi sekelas pantun kacangan yang dapat saling diperbalaskan, sahut-menyahut begitu saja. Sudahlah undang-undangnya tidak berwibawa, ada pula uji judisial oleh suatu "mahkamah konstitusi" yang sekadar menyatakan ketentuan undang-undang ini dan ini tidak berlaku. Yaa Salaam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H