Berita di harian Kompas edisi 18 Januari 2016, di halaman 1 dengan judul "Kemiskinan Sepanjang Hayat Keluarga Erni" sungguh membuat saya tertegun sekaligus merasa miris. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan sekaligus menempuh pendidikan di tanah jawara ini saya sedih membacanya. Tulisan wartawan Kompas itu dikemas secara apik sehingga pembaca merasakan langsung alur cerita layaknya orang tua mendongengkan cerita kepada anaknya.
Sedih, itu sudah pasti. Marah, apalagi. Lalu apa yang mampu aku perbuat untuk mengangkat derajat keluarga Erni dari kemiskinan terstruktur? Sedih karena propinsi yang sudah berumur 15 tahun ini tak juga terangkat indeks kesejahteraannya. Marah! karena para pejabatnya selalu berurusan dengan aparat penegak hukum akibat keserakahan dan mental korupnya.
Baca lah bagaimana paragraf terakhir ini bicara: "Namun, untuk urusan investasi, tidak demikian. Aparatur pemerintah sigap memfasilitasi pembelian lahan-lahan di Desa Banyuasih oleh pemodal dari luar daerah. Persis di depan gubuk itu puluhan hektar tanah telah dikuasai orang kaya dari luar Banten. Kondisi lahan dibiarkan menganggur." yang berkuasa justru memfasilitasi para cukong tanah menguasai lahan seluas-luasnya tanpa menggandeng masyarakat desa untuk, setidaknya mengelola lahan yang menganggur.
Para penguasa justru bergerak cepat demi pundi-pundi rupiah yang menguntungkan mereka. Tidak begitu dengan berita kemiskinan yang menimpa rakyatnya, ketika dikonfirmasi oleh para awak media misalnya, selalu memberi jawaban normatif tanpa ada solusi yang jelas atas kemiskinan yang terjadi di daerahnya. Apa sebenarnya yang mereka kerjakan kalau bukan untuk kesejahteraan rakyatnya? apakah panggung kekuasaan baginya adalah sebuah bingkai kehormatan yang setiap orang memandangnya betah berlama-lama menatap wajah sang pemimpin dunia.
Keadilan memang bukan untuk si miskin, apalagi kesejahteraan yang bersifat mendasar. untuk makan saja mereka harus bersusah payah banting tulang demi mengisi perut yang lapar, mengairi tenggorokan yang kering, serta menambah tenaga yang mulai ronta akibat lapar mendera.
Bagaimana dengan yang di tampuk kekuasaan sana? Ah, mereka hanya pandai berkilah ketika pemberitaan busung lapar menggema. Mereka hanya mampu berkomentar di berbagai media untuk mencari jalan keluar yang tak kunjung dirasakan si lapar yang sudah membusung. Menunggu pemerintah turun tangan hanya akan membuat si miskin semakin kering kerontang dilalap rasa lapar dan dahaga. Mengharapkan uluran tangan mereka sudah barang tentu yang akan terjadi selalu berkilah terganjal birokrasi.
Untuk urusan kemiskinan birokrasi selalu dipersulit tapi urusan licinnya perizinan pemegang kuasa begitu gesit tanpa banyak berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H