Selama lima puluh tahun terakhir, Artificial Intelligence (AI) dalam Medis telah berkembang dengan cepat. Aplikasi AI telah diperluas sejak Machine Learning dan Deep Learning muncul, memberikan peluang untuk pengobatan yang dipersonalisasi daripada pengobatan yang hanya berbasis algoritma. Diagnosis penyakit, prediksi respons terapeutik, dan potensi pengobatan pencegahan di masa depan dapat dilakukan dengan model prediktif. Ada kemungkinan bahwa AI dapat meningkatkan akurasi diagnosis, membuat alur kerja klinis dan penyedia layanan lebih efisien, memungkinkan pemantauan penyakit dan terapi yang lebih baik, dan secara keseluruhan meningkatkan akurasi prosedur dan hasil pasien.
Penggunaan AI dalam pencitraan medis untuk meningkatkan akurasi, konsistensi, dan efisiensi laporan. Arterys adaah aplikasi Deep Learning berbasis cloud klinis pertama yang diizinkan untuk digunakan dalam layanan kesehatan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 2017. CardioAI, produk pertama Artery, mampu mengumpulkan data seperti pecahan ejeksi jantung dari gambar resonansi magnetik jantung dalam hitungan detik. Aplikasi ini sekarang mencakup gambar rontgen dada dan muskuloskeletal, pencitraan CT kepala nonkontras, dan pencitraan hati dan paru-paru.
Deep Learning dapat digunakan untuk membuat laporan medis otomatis, membuat diagnosis branding, dan menemukan lesi. Dengan menggunakan DL, Gargeya dan Leng menyaring retinopati diabetik pada tahun 2017. Mereka mencapai sensitivitas 94% dan spesifisitas 98% dengan lima kali validasi silang. Dengan cara yang sama, Esteva dkk, pada artikelnya "Dermatologist-level classification of skin cancer with deep neural networks" mengajarkan CNN untuk membedakan kanker kulit melanoma dan nonmelanoma, dan hasilnya menunjukkan cara CNN dapat digunakan untuk memperkirakan risiko penyakit jantung pada populasi kohort. Jika dibandingkan dengan algoritma yang ditetapkan oleh American College of Cardiology sebagai standar, AI lebih akurat dalam memprediksi bahaya bagi kesehatan jantung. Selain itu, kecerdasan buatan juga dapat digunakan untuk secara akurat memprediksi perkembangan penyakit Alzheimer dengan menganalisis data pencitraan amiloid dan memprediksi respons terapi obat terhadap penyakit tersebut.
AI telah berkembang pesat dari tes awal turing hingga saat ini. Saat memasuki tahun 20-an, kita berada di awal era baru dalam dunia kedokteran ketika AI mulai diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari. Ada banyak potensi penggunaan AI pada penyakit saat ini, seperti meningkatkan kemampuan diagnostik dalam endoskopi, membuat alur kerja endoskopi lebih efisien, dan bahkan membantu membuat stratifikasi. Namun, algoritma AI dan aplikasinya membutuhkan lebih banyak penelitian dan validasi. Untuk menunjukkan kemanjuran, nilai, dan dampak perawatan pasien dan hasilnya, akan diperlukan data klinis tambahan. Terakhir, pengembangan model dan produk AI murah diperlukan agar dokter, praktik, dan rumah sakit dapat menggunakan AI dalam praktik klinis. Ini dapat menjadi kerja sama untuk meningkatkan hasil klinis pasien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H