Dunia terus berkembang seiring perkembangan zaman. Berbagai aspek kehidupan juga mau tidak mau harus ikut berubah seiring perkembangan zaman ini, mulai dari ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan, dan terutama adalah agama. Di masa sekarang, informasi menyebar dengan begitu pesatnya sehingga memudahkan orang untuk memperoleh informasi yang ia butuhkan. Disamping mudahnya penyebaran informasi, ada dampak buruk yang dapat merugikan banyak pihak yaitu penyebaran informasi palsu.
Gereja yang sejak mulanya dibentuk oleh Yesus sudah mengalami banyak rintangan yang harus dihadapi hingga zaman sekarang. Dulu Gereja harus menghadapi banyak bid'ah yang menyabarkan informasi yang menyesatkan umat. Salah satu bentuk Gereja dalam menghadapi informasi-informasi yang menyesatkan itu adalah diadakannya sebuah musyawarah besar yang disebut konsili. Konsili pertama terjadi di Yerusalem yang membahas apakah umat Gereja harus tunduk pada hukum taurat.
Kemudian ada konsili besar yang disebut konsili oikumenis pada tahun 325 M di Nicea yang membahas doktrin Trinitas untuk melawan aliran Arianisme hingga akhirnya muncul Syahadat Nicea. Pokok bahasan Konsili Nicea dilanjut pada tahun 381 M yang menghasilkan Syahadat Nicea-Konstantinopel atau Syahadat Panjang. Dan kemudian tradisi konsili tersebut masih berlanjut hingga sekarang.
Karena adanya tradisi tersebut Gereja masih bisa terus bertahan selama 2000 tahun. Melihat hal ini bila dibandingkan dengan konteks zaman sekarang, tradisi Gereja tersebut masih sangat relevan.
Gereja selalu berjalan sinodal sehingga perkembangan teknologi terutama dalam bidang informasi sangat membantu kita untuk dapat terus berjalan bersama. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi juga dapat menimbulkan masalah sosial yaitu individualis yang menyebabkan sulitnya kita untuk bisa berjalan bersama.
Untuk bisa menghadapi masalah-masalah tersebut, Gereja harus bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kita memerlukan imam yang bisa terus beradaptasi untuk mengikuti perkembangan zaman.
Gereja, meskipun bisa bertahan hingga sekarang, pernah mengalami banyak kejatuhan terutama pada abad pertengahan hingga awal abad ke-20.
Kejatuhan tersebut meliputi skisma besar, gerakan protestanisme, dan kegagalan-kegagalan dalam usaha pewartaan-pewartaan terutama ke daerah timur seperti China dan Jepang.
Kegagalan dalam pewartaan di China disebabkan karena Gereja pada waktu itu hanya melihat bagian permukaan dari tradisi China dan tidak melihat secara langsung apa makna sesungguhnya dari adat istiadat di China. Mereka memaksa pelaksanaan ajaran-ajaran gereja secara gamblang dan tidak melihat konteks keadaan sosial di sana.
Karena hal ini, akhirnya pemimpin di China mengusir Gereja dari tanah China dan melarang sama sekali adanya kegiatan misi di sana dengan alasan mencegah masalah-masalah terkait teologi bermunculan.
Berkaitan dengan masalah ini, akhirnya pada tahun 1939 Paus Pius XII memerintahkan untuk melonggarkan beberapa kekakuan dalam kegiatan Kekristenan di China. Kebijakan tersebut diterima oleh pemimpin di China sehingga hubungan Vatikan dengan China dapat terjalin dengan baik meskipun akhirnya hubungan tersebut sempat terputus ketika Vatikan mengangkat seorang pastor menjadi uskup di China secara sepihak tanpa sepengetahuan dari pemerintah China.