Lihat ke Halaman Asli

Bonefasius Sambo

Seorang guru yang gemar menulis

Trisna, Isu Maritim, dan Menteri Susi

Diperbarui: 6 Mei 2017   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Praktik Sekolah, Trisna, cs - Sumber: Dokpri"][/caption]Di bulan Agustus 2016 saya kembali ke habitat saya (SMK). Saya dipindahkan dari sebuah SMP ke SMK Negeri 1 Pandawai. Kebetulan saat itu SMK ini baru menerima siswa angkatan perdana Tahun Pelajaran 2016/2017. Salah satu jurusan yang dibuka adalah Nautika Kapal Penangkap Ikan (NKPI).

Saat saya masuk, KBM sudah berjalan. Seorang guru dari perikanan umum menjadi guru kejuruan. Bagi saya itu tak masalah. Ilmu pengetahuan itu bisa dipelajari. Namun beberapa bulan kemudian guru bersangkutan meninggalkan sekolah kami karena alasan tertentu. Artinya tinggal saya sendiri.

Namun yang menarik perhatian saya adalah dominasi jumlah siswinya. Sampai hari ini di kelas saya separuh lebih didominasi oleh peserta didik perempuan. Dalam otak saya seharusnya yang menjadi peserta didik untuk NKPI itu kaum laki-laki. Karena ini erat kaitannya dengan praktik melaut. Seandainya waktu penangkapan one day fishing (1 hari tangkap) tak soal, bagaimana kalau berminggu-minggu, sebulan atau dua bulan? Pikir saja sendiri bagaimana susahnya mereka nanti?

Kalau sudah dalam posisi demikian tak mungkin mereka kita tolak. Semangat mereka dalam mengikuti KBM membuat saya berpikir bagaimana menemukan solusi terbaik? Kehadiran remaja putri ini sangat membantu dalam pembelajaran teori. Dan ternyata anak-anak ini adalah anak dari pelaku perikanan. Dan mereka sering membantu orang tuanya di laut. Gambaran tentang laut, ikan dan alat tangkap sudah ada di benak mereka. Tinggal bagaimana gurunya memberikan hal-hal baru.

Saya sempat diskusi dengan teman-teman guru adaptif dan normatif. Ya terkait "perempuan"-nya itu. Saya menjelaskan bagaimana suka-dukanya di laut. Dan mereka memahaminya. Mereka juga cerita ada siswi yang memang sejak kecil sudah ikut dan membantu ayahnya di laut. Namanya Trisna. Saya jadi penasaran dengan cerita guru guru itu. Katanya ia bisa mengoperasikan gill net dengan menggunakan perahu atau mendayung perahu sendiri. Padahal usianya saat ini baru 15 tahun.

Kecakapan dasar nelayan seperti menjurai dengan simpul biasa seperti yang saya ajarkan mudah ia serap. Dan terakhir ketika memotong jaring walau belum sampai ke level cuting rate, cara memegang pisau, kecepatan memotong, dan membuka pelampung beda dengan peserta didik lainnya. Ia seperti sudah akrab dengan pekerjaan itu. Jaring yang kami pakai untuk melatih ini adalah jaring nylon bekas, bahan PA 210/D6 2" kontribusi dari orang tua peserta didik. Maklum sekolah baru.

Isu Maritim

Trisna telah mengubah idealisme saya. Hari ini perempuan tidak bisa disepelekan dalam mewujudkan visi besar kemaritiman yang digagas oleh Presiden Joko Widodo yakni mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Artinya Indonesia harus menjadi pusat kekuatan ekonomi, kedaulatan politik, dan berkebudayaan bahari. Laut kelak akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim.

Kemarin, Kamis, 4/5/2017, bersama Menko Maritim, Luhut Binsar Penjaitan, Mendikbud, Muhadjir Effendy telah menggagas sebuah kurikulum pendidikan bermuatan kemaritiman. Kurikulum bermuatan kemaritiman akan disisipkan ke mata pelajar di sekolah-sekolah (satuan pendidikan) di seluruh Indonesia. Jadi bukan sekedar muatan lokal lagi. Menurut saya cara ini untuk mengembalikan visi kemaritiman kita.

Mengubah mind set tani ke maritim itu bukan perkara mudah. Kita membutuhkan gerakan. Dan gerakan ini bukan sekedar slogan tapi butuh action. Dalam pembangunan kemaritiman dibutuhkan kerja kolektif bukan ego sektoral. Sehingga visi besar sebagai poros maritim dunia bisa terwujud di kemudian hari.

Susi-Susi Baru

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline