[caption id="attachment_401962" align="aligncenter" width="324" caption="gambar diambil dari https://aspergerhuman.wordpress.com"][/caption]
Siang tadi seorang VP (vice President) salah satu direktorat di kantor datang ke ruangan saya untuk "memprotes" hasil asesmen pengukuran kompetensi anak buahnya bulan lalu. Bukan protes dalam arti sebenarnya, tapi pengen tahu dan membuktikan skor hasil asesmen dalam psikogram. Beberapa hari yang lalu beliau juga beberapa kali minta di tes. Akhirnya beliau saya minta mengerjakan salah satu alat tes di meja saya. Berduaan. Saya ngetes, beliau dites.
Jarang saya menemui kepala departemen yang punya rasa ingin tahu tinggi begitu tanpa merasa bossy atau gengsi. Dengan senang hati saya menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya. Biasanya selama ini para pimpinan yang saya "support" dalam bentuk asesmen ada 2 macam. Model yang pertama, model tidak mau tahu. Sebenarnya tahu manfaatnya dan selalu minta anak buahnya di ases. Supaya tahu kekuatan dan kelemahannya dalam bekerja. Tapi setelah laporan asesmen diserahkan, tidak ada respon, tidak ada umpan-balik (feedback) baik ke tim asesor maupun ke anak buahnya. Laporan ditumpuk saja dilemari, atau dijadiin ganjal meja. Model yang kedua, sok tahu. Membaca laporan asesmen dengan detail, lalu protes keras kalau asesmen "tidak valid", "tidak menggambarkan yang sebenarnya", dan segudang alasan yang lain.
Akhirnya anak buahnya diberikan umpan balik seadanya.
Saya lebih suka menghadapi model yang kedua. Paling tidak orangnya merespon dalam bentuk protes. Saya jadi punya alasan untuk menjawab. Tapi lebih senang lagi saya menghadapi VP saya yang datang tadi siang. Protesnya sangat asertif dan elegan. Akhirnya kami diskusi panjang mengenai kekuatan dan kelemahan asesmen psikologi. Saya termasuk lulusan psikologi yang pilih-pilih menggunakan alat tes. Kalau tidak diperlukan. Saya tidak akan pakai. Untuk aplikasi dalam dunia kerja, alat tes psikologi saya bedakan menjadi 3 golongan.
Golongan satu alat tes untuk mengukur kemampuan kognitif. Biasanya saya gunakan tes inteligensi yang umum, praktis, tapi komperhensif. Seperti IST (Intelligenz Struktur Test). Memang sekarang banyak yang meragukan karena sudah banyak bocor. Tapi saya belum menemukan alternatifnya. Kalau mau lebih praktis bisa pakai SPM/APM (Standard/Advanced Progressive Matrics) atau CFIT (Culture Fair Intelligence Test). Tapi kurang komperhensif. Untuk keperluan seleksi bisa dipakai, tapi untuk keperluan asesmen internal saya jarang pakai.
Alat tes golongan ini menurut saya sangat obyektif dan universal. Tidak ada masalah.
Golongan kedua, alat tes untuk mengukur sikap kerja. Maksudnya bagaimana orang ini bekerja. Kecepatannya, ketelitiannya, sistematikanya, dll. Intinya bagaimana seseorang merespon pekerjaan-pekerjaan yang ada didepannya dengan cepat dan tepat. Logikanya, orang dengan kemampuan kognitif yang tinggi. sikap kerjanya akan bagus pula. Kalau tidak, maka asesor bisa menggali lebih dalam apa masalahnya. Data ini bisa membantu atasan untuk melakukan perbaikan dan pengembangan (development). Alat tes di golongan ini juga cukup obyektif. Kalaupun ada pertanyaan, asesor dengan mudah bisa menjawab keabsahan hasil tesnya.
Golongan yang ketiga, tes kepribadian. Menurut saya, alat tes di golongan ini punya kelemahan-kelemahan untuk diterapkan dalam lingkungan kerja. Selain sifatnya subyektif. Saya sendiri meragukan apa benar hasil tesnya ini valid dan reliabel. Memang biasanya ada penelitian statistik yang mendasari penyusunan alat tes. Tapi tetap saja, kadang asesor melakukan judgment yang kurang pas, atau menjawab pertanyaan dari para manajer lini yang penasaran secara defensif. Menurut saya kepribadian tidak bisa diukur secara absolut. Kalau asesor memaksakan interpretasinya, itu tidak ubahnya kayak praktisi tarot, garis tangan, golongan darah, atau sidik jari..
Sebentar, saya bukannya merendahkan para praktisi ini. Menurut saya, tidak masalah mau pakai alat tes kepribadian, tarot, garis tangan, golongan darah, atau sidik jari. Selama itu dilakukan untuk kasus-kasus individual. Bukan kasus klasikal/massal. Apalagi untuk seleksi. Menurut saya metode-metode pengukuran kepribadian cocok untuk keperluan konseling. Untuk menggali masalah dan dialog. Tapi bukan untuk menjudge kepribadian, bukan untuk membandingkan, apalagi untuk seleksi.
Setelah hampir satu jam diskusi, tahu-tahu sudah waktu makan siang dan sholat Dhuhur. Pak VP manggut-manggut dan sepertinya puas dengan hasil diskusinya. Sepertinya masih banyak hal yang mau ditanyakan dan beliau bilang kalau bisa diskusi lagi lain waktu. Siap Pak, mari nanti kita lanjutkan ngobrol-ngobrolnya...
Bondhan Kresna W
Praktisi HR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H