Manggarai, secara historis merupakan nama yang lahir dari situasi ketika Pasukan Kerajaan Cibal membawa lari jangkar kapal milik pasukan Kesultanan Bima. Nama Manggarai terbentuk dari dua gabungan kata, Manggar yang artinya Jangkar dan Rai yang artinya lari (Lawang 2024). Saat ini Manggarai telah meroketkan namanya hingga kancah Internasional setelah sejumlah besar kekayaan dan panorama alamnya diperkenalkan kepada dunia secara global. Manggarai telah mampu menghipnotis sejumlah besar wisatawan dengan destinasi wisata yang menggugah selera.
Ketertarikan wisatawan asing untuk menjamah sejumlah destinasi wisata lokal di Manggarai tentu tidak terluput dari sekian bentuk kazanah budaya yang masih terawat. Budaya Caci barangkali menjadi salah satu kazanah budaya yang menarik perhatian para pelancong. Selain itu, karakter masyarakat Manggarai yang ramah, perhatian, murah senyum, memberi andil besar bagi terbentuknya rasa nyaman bagi para pelancong selama menghabiskan waktu di tanah Congka Sae.
Selain budaya Caci dan destinasi wisata, budaya kopi juga menjadi kekhasan tersendiri bagi masyarakat Manggarai. Kopi menemani masyarakat Manggarai dalam kompleksitas situasi dan kegiatan baik formal maupun informal. Kopi menjadi bagian tak terpisahakn dari seluruh rajutan kisah historis masyarakat Manggarai. Kopi menjadi catatan tak terhapuskan dari panjangnya skenario hidup budaya masyarakat Manggarai. Perjamuan kopi yang mengurat mengakar dalam diri masyarakat Manggarai memberi pengaruh besar terhadap budaya tanam kopi. Pengalaman Rabu Berdarah telah menjadi catatan kelam masyarakat Manggarai sebagai sebuah tragedi "Kemartiran Kopi". Kopi yang telah mengambil bagian penuh dalam catatan historis masyarakat Manggarai berusaha dihapuskan oleh sekelompok elit politik. Perjuangan masyarakat dalam mempertahankan eksistensi kopi baik sebagai bagian dari budaya pun sebagai komoditi telah terbukti meningkatkan kesejahteraan hidup masayrakat Manggarai terutama yang menanam dan mengelola kopi. Kopi telah menjadi salah satu komoditi utama masyarakat Manggarai dengan nilai jual yang tinggi. Perjuangan para martir dalam peristiwa rabu berdarah sejenak direfleksikan telah terbayarkan dengan eksisnya komoditi kopi di Manggarai.
Kopi sebagai komoditi dan perjamuan budaya memang perlu direfleksikan terus menerus di tengah kompleksitas perubahan yang ada. Sebagai sebuah komoditi, nilai jual kopi yang menjulang tinggi tentu menjadi kebanggaan dan mnejadi harapan bersama untuk kemajuan dan kesejateraan bersama masyarakat Manggarai. Kopi sebagai perjamuan budaya, kiranya terus menghangatkan dialog dan percakapan masyarakat untuk terus maju dengan semangat solidaritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H