Membaca sebagai basis dasar pendidikan memang perlu mendapat perhatian lebih. Kemampuan membaca sangat penting untuk proses pengembangan potensi diri peserta didik. Menjawabi situasi ini, kurikulum merdeka belajar secara konseptual memberi penekanan khusus pada perhatian akan kebiasaan membaca peserta didik. Peserta didik diarahkan untuk mulai membangun kultur membaca yang baik dan berlangsung terus menerus.
Dalam tugas pastoral sebagai tenaga pendidik, saya mulai mengajak peserta didik untuk aktif dalam proses mimesis diri (sesuai kesepakatan beraama dewan guru dan sekolah). Peserta didik diberi waktu seperempat jam untuk membaca teks biblis Kitab Suci (sebagai bagian dari pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti).
Peserta didik yang merupakan siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama Seminari St. Yohanes Maria Vianney, mulai dibentuk dengan Kultur membaca yang baik. Dalam proses mimesis diri, peserta didik tidak terbatas pada usaha membaca teks tetapi secara lebih kompleks menemukan intisari/pesan dan makna yang disampaikan teks kepada mereka sebagai publik pembaca. Hal ini diharapkan akan bermuara pada actus praksis atau menghidupkan teks dalam hidup harian.
Menjadi harapan bersama seluruh pihak sekolah terutama para pendidik bahwa kebiasaan membaca ini dapat terus dihidupkan secara konsisten dan efektif. Kesadaran refleksif peserta didik terus diupayakan agar membaca tidak lagi dipahami sebagai sebuah tekanan formatif lembaga pendidikan tetapi sungguh-sungguh merupakan bagian dari hidup. Dengan demikian adagium latin "Non Schloae sed vitae, discimus" (Belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup) mendapat tempat dalam arti terdalam peribahasa itu.
#salam literas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H