Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sudah menjadi isu yang ramai dipersoalkan di negeri pancasila ini. Isu ini bahkan sudah menjadi seperti gejala umum dan lumrah. Semua berujung pada satu jalan buntu, perceraian. Proses penyelesaian berjalan alot atau mungkin juga diseting sedemikian rupa supaya terlihat rumit dan sulit untuk berdamai. Kasus perceraian paling marak terjadi di kalangan para artis. Berbagai media televisi nasional tampaknya senang mengumbar-umbar berita perceraian. Berbagai persoalan yang terjadi dalam rumah tangga para artis menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan di media televisi. Pertanyaan sederhana: apa nilai edukatif yang ditawarkan bagi generasi muda yang baru dan sedang merajut tali kasih untuk membangun rumah tangga yang bertahan hingga tangisan peti mati?
Pada 14 Februari mendatang, kita akan merayakan suatu moment hari kasih sayang. Kita tentu saja diajak untuk sejenak bercermin diri, untuk melihat luka-luka kehidupan yang belum sempat kita balut dan duri yang kita lemparkan kepada sesama. Fokus pembahasan tulisan ini adalah dua pasang badan yang diikat oleh tali sah penikahan. Hemat saya, ketika laki-laki dan perempuan membangun rumah tangga dalam perkawinan yang suci, saat itulah mereka menjadi satu. "Segala milikmu adalah milikku, dan milikku adalah milikmu". Peribaha ini tentu saja penting untuk menghindari upaya saling memperkaya diri. Masing-masing harus meninggalkan egonya dan menghiasi rumah tangga dengan kasih yang tidak bertepi. Pertanyaannya adalah, apakah dengan itu kasus KDRT dalam kelaurga akan hilang? Tentu saja tidak.
Beberapa hal berikut hemat saya perlu dijadikan pijakkan untuk memberi dasar yang kokoh kuat bagi bangunan tumah tangga yang dibentuk. Pertama, rumah tangga yang dibangun perlu dihidupi dengan satu etika. Dalam hal ini, penulis menawarkan satu etika kebersamaan. Etika ini menekankan pentingnya kebersamaan. Sebagai sebuah pasangan, penting untuk berjalan bersama melewati setiap etape kehidupan yang diwarnai dengan berbagai tantangan dan kesulitan yang menggoncang keutuhan rumah tangga. Kebersamaan itu tentu saja harus disirami dengan nilai-nilai religius dan sosial budaya. Dengan jalan kebersamaan dalam rumah tangga, akan memberi pengaruh dalam relasi sosial bersama yang lain. sebagaimana digagas oleh Hans Kung tentang pentingnya merangkul kebersamaan (pro-eksistensi), pasangan dalam rumah tangga adalah dua peribadi dengan situasi dan latar belakang yang berbeda. Jalan kebersamaan menjadi obat penawar untuk melihat perbedaan sebagai suatu kekhasan yang perlu dirangkul dan bahkan sebisa mungkin menjadi bagian dari hidup kedua pasangan. Kedua, dialog. Relasi yang berujung pada pernikahan adalah hasil dari proses berdialog. Rentang waktu dialog tentu saja variatif. Dengan dialog adalah sebab awal lahirnya benih-benih cinta, maka ketika sudah menikah, dialog tidak boleh ditinggalkan seperti yatim piatu. Dialog tidak boleh dikurung di dermaga tetapi diikutsertakan berlayar bersama bahtera rumah tangga yang mulai berlayar. Akan ada sekian banyak gelombang, badai, angin ribut yang menggoncangkan dan mengganggu zona nyaman kehidupan rumah tangga. Tanpa suatu dialog yang baik, niscaya bahtera rumah tangga itu akan tersapu ombak dan tidak dapat bertahan. Dialog yang baik akan membantu menemukan soluasi dari setiap persoalan. Dialog yang tulus akan menghantar pasangan pada penyelesaian masalah, sekalipun rumit. Dialog mesti dijadikan anak bawang seperti dalam permainan zaman dulu, menjadi penengah untuk memberi keseimbangan.
Ketiga, tetapkan tujuan. Segala sesuatu mesti bermuara pada satu tujuan. Demikian juga kehidupan rumah tangga. Ajaklah pasangan untuk duduk bersama membangun satu rancangan hidup hari ini, besok dan masa depan. Apa yang mau kita capai? Dengan setiap rancangan yang dibangun, kedua pasangan akan diarahkan untuk hidup mengejar impian.perlu digarisbawahi agar impian yang dibangun mesti tetap memperhatikan nilai dan norma yang mengarah kepada kebaikan. Rumah tangga yang dibangun tanpa tujuan akan mudah runtuh. Akan tetapi, setiap tujuan yang hendak dicapai perlu untuk tetap memperhatikan point pertama dan kedua. Berjalan bersama dengan membentuk dialog yang hidup untuk menetapkan tujuan hidup berumah tangga.
Dari ketiga hal di atas, cinta kasih mesti merangkul semuanya. Hal ini penting, sebab etika tanpa kasih adalah kemunafikan, dialog tanpa ketulusan adalah kebohongan dan tujuan tanpa sukacita adalah kapal karam di pulau terasing. Cinta kasih mesti menjadi warna yang hidup dalam setiap perjalanan rumah tangga. Dengan itu, kekerasan dalam rumah tangga akan selalu dihindari demi impian bersama yang hendak dicapai. Bulan kasih sayang ini mestinya menyadarkan setiap pasangan untuk terlibat aktif dalam upaya membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis dan kokoh kuat menghadapi persoalan hidup. Dengan jalan kebersamaan, kita harus berani untuk say no to KDRT. Rumah tangga adalah bangsa kecil. Rumah tangga yang utuh dan berkualitas memberipengaruh besar bagi perkembangan dan kemajuan hidup berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H