Kompas hari Senin (16/5/2011) menampilkan berita utama “Parpol Tersandera Korupsi”. Sementara itu, Metro TV dalam acara 811 show pagi ini (16/5/2011) menampilkan dialog hasil temuan beberapa lembaga survey di antaranya LSI yang menemukan bahwa dari tahun 2003 sampai sekarang raport anggota DPR merah terus. Dalam acara yang sama, hasil survei indobarometer dipaparkan. Hasilnya mengejutkan, mayoritas responden menilai ORBA lebih baik dari Orde Reformasi dan Presiden Suharto lebih baik dari presiden-presiden sesudahnya.
Kompas menekankah bahwa partai-partai politik saat ini tersandera kasus-kasus korupsi anggotanya yang duduk di DPR. Akibatnya parpol disibukkan oleh penyelamatan citra, dan melupakan kepentingan rakyat.
Pertanyaan sebetulnya adalah siapa menyandera siapa? Apakah betul anggota parpol yang terlibat korupsi akhirnya menyandera parpolnya atau sebaliknya parpol yang menyandera anggotanya untuk mengumpulkan uang dengan cara apa pun untuk kepentingan parpol?
Kita sering mendengar sinyalemen bahwa beberapa BUMN menjadi ATM berjalan bagi parpol-parpol. Selain itu, perebutan beberapa kursi basah di kabinet sebetulnya juga terkait upaya pengumpulan fulus untuk kepentingan parpol. Bahkan hal itu termasuk penentuan ketua komisi di DPR RI. Komisi-komisi yang berkaitan dengan lembaga-lembaga atau urusan-urusan yang uangnya berlimpah menjadi rebutan partai-partai politik agar menjadi ketuanya. Ujungnya tentu urusan duit. Bahkan disinyalir, sebelum seseorang lolos menjadi calon anggota DPR dari suatu parpol, dia harus menyerahkan sejumlah uang (sebagai mahar?). Bisa saja, karena tidak mempunyai uang sendiri, para calon ini terpaksa berhutang dengan jaminan menjadi alat pemilik modal untuk menggolkan segala kepentingan pemberi hutang di kemudian hari.
Memang semua informasi ini baru sekedar sinyalemen, karena belum ada laporan yang bisa dipertanggung jawabkan mengenai semua itu. Kalau sinyalemen-sinyalemen ini benar adanya, maka sebetulnya bukan anggota yang terlibat korupsi yang menyandera parpol melainkan parpollah yang menyandera anggota-anggotanya di DPR sehingga mereka menempuh jalan yang salah, korupsi, untuk mengumpulkan fulus bagi parpol yang diwakilinya itu. Karena itu sistem keparpolan kitalah yang menyebabkan korupsi bertumbuh subur.
Mengacu pada hasil temuan LSI yang menyatakan bahwa sejak 2003 hingga sekarang raport anggota DPR selalu merah menjadi dapat dipahami. Artinya, kita menjadi lebih memahami bahwa kinerja buruk DPR sebetulnya disebabkan oleh sistem yang cacat yang ada di belakangnya. Sistem yang cacat itu melekat dengan sistem keparpolan atau menjadi bagian dari eksistensi parpol yang ada di tanah air. Cacat parpol terletak pada mekanisme pendanaan parpol.
Bila sumber uang untuk berputarnya roda kepartaian diletakan pada pundak calon anggota DPR dan anggota DPR terpilih dari partai-partai politik, maka akibatnya akan sangat luas. Pertama, orang yang bisa menjadi calong anggota DPR adalah mereka yang berduit. Konsekuensinya kualitas anggota DPR itu dipertaruhkan. Orang yang maju menjadi anggota DPR belum tentu orang yang berkualitas dalam arti mempunyai kualitas yang memadai untuk mewakili konstituennya.
Kedua, orang yang mau menjadi anggota DPR adalah orang yang sebetulnya berkualitas untuk mewakili konstituennya, tetapi tidak mempunyai uang. Karena tidak mempunyai uang maka dia berhutang entah kepada orang tertentu maupun industri tertentu untuk mendapatkan uang demi memperoleh tiket menjadi calon dari parpol.
Kedua kondisi di atas masing-masing membawa konsekuensi serius. Bila orang-orang dengan latar belakang seperti di atas terpilih menjadi anggota DPR dari parpol, maka kelak mereka sulit bekerja dengan optimal. Anggota DPR yang beruang tetapi tidak mempunyai kualitas atau kualifikasi untuk mewakili konstituennya akan sulit bekerja bagi kepentingan konstituennya. Sebaliknya, anggota DPR yang tidak beruang tetapi mau berhutang untuk mendapatkan posisi sebagi anggota DPR kelak akan sulit bekerja dengan baik bila terpilih, karena mereka harus mencari uang untuk membayar utang atau bekerja untuk memnuhi tuntutan pemodal yang telah mensuport mereka untuk menjadi anggota DPR.
Hal itulah yang kemudian menyebabkan raport DPR selalu merah seperti yang ditemukan oleh LSI sejak 2003 hingga sekarang (2011). Dan tentu saja menjadi penyebab mengapa responden sekarang menilai ORBA lebih baik dari Orde Reformasi dan Suharto adalah presiden terbaik dibandingkan dengan presiden-presiden lain sesudahnya. Padahal kita semua tahu bagaimana dahulu presiden Soeharto memimpin, berapa banyak orang yang hilang dan dibunuh karena perbedaan pandangan politik dengan pemerintah pada zaman itu, dan betapa represif dia dalam memimpin, termasuk banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan sepanjang masa pemerintahannya.
Yang paling bertanggung jawab atas raport merah anggota DPR dan buruknya citra era reformasi di matarakyat Indonesia adalah partai-partai politik. Cacat bawaan parpol harus segera disembuhkan atau kalau tidak bubarkan saja semua parpol yang ada dan mari kita merumuskan kembali bagaimana sistem demokrasi atau kepartaian kita. Barangkali sistem perwakilan wilayah lebih cocok di Indonesia ketimbang sistem kepartaian. Artinya wakil-wakil yang ada di DPR murni mewakili wilayah-wilayah yang ada di Indonesia dan penjaringannya tidak melalui partai politik melainkan lewat musyawarah wilayah-wilayah di Indonesia. Dan musyawarah wilayah ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga bentuk masyarakat di wilayah masing-masing, entah itu berdasarkan suku maupun berdasarkan entitas kepemerintahan seperti kabupaten-kabupaten.
Ini hanya sekedar sharing ide, demi Indonesia….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H