Rintik hujan turun membasahi bumi menghentikan langkahku. Ke mana lagi Aku akan mencari para pembuat trompet di muka bumi ini? Sudah sebelas purnama Aku menghabiskan waktuku, tapi tidak pernah kutemukan lagi seorang pun diantara mereka. Mereka hilang bagai ditelan bumi. Dahulu begitu mudahnya Aku menjumpai mereka walau keadaan hujan lebat sekalipun. Mereka dengan semangat menawarkan bermacam-macam trompet kepadaku.
Sekarang Aku hanya bisa terduduk lesu disebuah bangku di teras gubuk tua yang sudah lama ditinggal penghuninya. Sambil berteduh menunggu hujan reda Aku memperhatikan sekelilingku. Di gubuk tua ini ternyata banyak berserakan bekas serutan kayu, potongan kertas putih dan warna-warni yang telah usang, benang-benang bekas, serta kaleng bekas tempat lem.
"Bukankah bahan-bahan ini untuk membuat trompet?" Aku bertanya pada diriku sendiri.
Berarti Aku telah sampai di tempat para pembuat trompet. Tapi di manakah mereka dan penghuni gubuk ini? Mengapa mereka meninggalkannya dan tidak mau merawatnya kembali? Aku harus mencari mereka. Aku meloncat kegirangan dan hendak berlari keluar dari gubuk. Tapi langkahku terhenti di pintu gubuk karena hujan belum reda. Terbesit dalam benakku untuk membuat trompet sendiri dengan bahan-bahan yang ada di gubuk tua ini.
"Tuhan ... bolehkah aku membuat trompet sendiri untukku?" Aku bertanya dalam hati. Tanpa menunggu jawaban dari Tuhan, Aku membalikkan badan dan mengumpulkan bahan-bahan yang masih bisa digunakan.
"Tidak boleh!" Tiba-tiba terdengar suara menggelegar mengagetkanku. Serta merta kulempar kembali bahan-bahan itu dan berserakan lagi di lantai gubuk.
"Mengapa tidak boleh?"
"Tugasmu hanya mencari di mana para pembuat trompet dan laki-laki itu!" kata Tuhan.
"Baiklah." Aku duduk lagi di bangku menunggu hujan reda.
Udara dingin membuat metabolisme tubuhku berjalan lebih cepat. Aku pun mulai merasa lapar. Kubuka tas kain kumalku. Tinggal sepotong roti di sana cukup untuk sedikit mengganjal perut kosongku. Kemudian Aku mengambil kantong kulit tempat air minum dari pinggangku. Kutuangkan ke dalam mulutku. Tes ... tes ... tes ... hanya tersisa tiga tetes air. Tidak mungkin dapat mengobati rasa hausku.
"Tuhan, hentikanlah hujan ini sejenak. Aku akan mencari makanan dan minuman di perkampungan itu sambil menanyakan keberadaan para pembuat trompet," pintaku pada Tuhan.