Lihat ke Halaman Asli

Ketika Sahur Telah Tiba (Jangkrik II)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Alam pedesaan hening ketika waktu telah berpindah dari malam menuju pagi
swara-swara simponi malampun tak begitu terdengar.. hambar dan sepi..
sesekali swara katak saling bersahutan ketika hujan gerimis mengguyuri perkampungan

Sudah masuk hari ke limabelas di bulan ramadhan.. masih tinggal di pedesaan..
dan sudah dua kali lebaran, menikmati masa-masa bulan puasa kesendirian
dan tahun ini adalah yang ke tiga kalinya...

Tak lama kemudian swara gemuruh bedug keliling memecahkan heningnya malam
menunjukkan waktunya untuk sahur... suatu sunah Rosul yang menganjurkan umatnya
untuk makan pagi sebelum imsak..

Ada kenikmatan tersendiri dalam melakukan sahur di perkampungan ini..
yaitu semua harus aku lakukan sendiri.. beda seperti aku dirumah...
slalu aku lakukan bersama keluargaku.. suatu perbedaan yang miris...

Seperti biasanya.. setelah habis masa imsak, semua menuju masjid
untuk melaksanakan ibadah shalat subuh... itupun hanya diterangi obor seadanya..
dan melaksanakan shalat subuh tetap dengan khusuknya..

Mentari pagi seperti biasa datang tak pernah telat.. selalu menyinari perbukitan..
mewarnai sisi ujung perbukitan dengan warna emas kemerahan..

Dan aktifitas pagi itu slalu rutin, dengan swara ciri khas ember...
yang terikat ditalinya dalam sebuah roda kecil..
dan mengeluarkan swara derik ketika lengan mencoba mengangkat ember itu

Anak-anak kecil bersama ibunya, ikut andil untuk berburu mandi atau mencuci..
dan biasanya aku dan teman lainnya mengalah secara bergiliran
pemandangan seperti ini terkadang membuat jantungku berhenti berdetak..
ketika para kaum hawa membenahi kembennya.. dan sebaiknya aku menyingkir..

Setelah upacara dipemandian pagi itu selesai, kami berkemas dan berangkat kerja..
mentari yang tadinya ramah berubah kasar dengan terik paginya di pinggir pantai...
yah... disanalah kami berburu untuk mencari makan, mencari nafkah untuk keluarga
tak ada yang berlebihan kecuali hanya sekedar mencari nafkah..

Panasnya aroma disiang hari menantang kerongkongan untuk berdiskusi..
membatalkan puasa... atau melanjutkan puasa dengan panas yang tanpa kompromi
dan hal ini sudah biasa kami hadapi.. tak berubah walau kadang kala tergoda..
sehingga hawa nafsu itu hilang dengan sendirinya ketika hari mulai senja..
dan.. saatnya kami membatalkan puasa...

Hari senjapun tak bertahan lama, warna langitpun berubah seketika.. gelap...
makhluk-makhluk malam keluar tak terarah, sedikit membisingkan langit yang gelap
sementara para buruh menyiapkan diri untuk kepentingan di malam hari..
begitu juga kami..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline