Lihat ke Halaman Asli

4 Tahun Mengais Ilmu 4 Tahun Dalam Dekapan Alam

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kehidupan mahasiswa, masa untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Hidup bebas, waktunya untuk menentukan jalan hidup sendiri. Ketika memulai fase ini coba mencoba adalah tindakan yang tidak aneh. Baik mencoba yang baik maupun yang buruk. Eksistensi menjadi prioritas demi meningkatkan kepercayaan diri. Semua dilakukan untuk menemukan jati diri dan jalan hidup.

Akan tetapi, sejatinya tugas mahasiswa adalah mencari ilmu. Lebih dari itu mahasiswa adalah penerus bangsa, penjaga moral bagi lingkungan sekitar, agen perubahan bagi masyarakat, dan sumber serta sekaligus pengolah ilmu yang benar – benar segar. Untuk menjadi mahasiswa yang seperti yang diharapkan, belajar di kelas bukanlah solusi akhir. Belajar di luar atau mencari pengalaman langsung di masyarakat menentukan hingga 60% pembentukan mentalitas, idealism, dan keberhasilan kita ke depan. Karena tujuan kita memang pada akhirnya adalah tidak sekedar membaur, tetapi menjadi pemimpin yang adil bagi masyarakat.

Tak sedikit mahasiswa yang memilih jalan berbeda untuk menemukan jalan hidupnya. Bagi kebanyakan orang, perjalanan lintas alam adalah hal yang menyebalkan dan sia – sia. Namun bagi para penikmatnya itu adalah sebuah kepuasan dan kesenangan yang tak terkira. Terutama mendaki gunung.

Akhir – akhir ini kegiatan tersebut menjadi tren terbaru di kalangan mahasiswa. Terutama setelah munculnya film dengan tema mendaki gunung yang dibalut dengan drama – drama persahabatan dan cinta. Akan tetapi kegiatan naik gunung sendiri sudah menjadi tren bagi kalangan muda sejak berpuluh – puluh tahun lalu di Indonesia. Salah satu istilah yang sangat mengena tentang itu adalah “bukan mahasiswa kalau belum pernah naik gunung”. Anggapan tersebut tentu menunjukkan seberapa kondang kegiatan mendaki gunung di kalangan mahasiswa.

Dan bersama kawan – kawan, terutama dari kalangan satu jurusan perkuliahan saya memulai petualangan – petualangan saya menembus kabut dan rimba. Pendakian pertama yang tak mungkin terlupakan, Gunung Merapi 20 November 2009. Kala itu persiapan sangat tidak memadai. Fisik dan materi kurang mendukung. Anehnya mental berbicara lain. Sandal yang sudah putus tetap diikat walau dengan rafia dan helaian rumput. Walaupun tersesat namun tetap kami temukan jalan menuju puncak. Namun kala itu kami belum berjodoh dengan Pasar Bubrah dan Puncak Garuda di atas sana. Yakin suatu saat akan bertemu.

Pendakian kedua yang tak kalah gila. Persiapan masih meleset. Peralatan kurang mendukung. Serta perkiraan waktu yang kurang tepat membuat kami tersiksa di atas awan. Gunung Sindoro di kala Februari memang jahat. Perjalanan yang melewati 12 jam menuju puncak dan akhirnya dihajar badai membuat kami berbalik arah turun. Belum cukup sampai disitu, kami dikejar waktu hingga stamina dan logistik terkuras habis. Ketika mencapai pos pendakian di bawah, inilah kelahiran kedua setelah perjalanan berdarah di atas sana. Hingga kini masih ada rasa ingin membalas dendam di Sindoro. Mungkin suatu hari.

Sampai akhirnya mendaki gunung mengantarku hingga bergabung dengan komunitas pecinta alam universitas. Banyak sekali pengalaman yang bisa diambil melalui kegiatan mapala. Menjadi percaya diri jelas. Yang lebih penting adalah ilmu, yang membuat kita bisa lebih percaya diri menghadapi ganasnya hutan rimba. Hingga tiba pada suatu momen kami dikukuhkan menjadi anggota selamanya dengan tanda nomor anggota. Perjalanan paling berkesan dan “mewah”. Adalah Puncak Argopuro (3.088 meter dari permukaan laut) yang menjadi saksinya. Lima hari empat malam perjalanan di tubuh Argopuro benar – benar menyenangkan buat kami. Legenda yang biasa kami dengar lewat cerita akhirnya kami temui. Mulai dari Cikasur, Puncak Dewi Rengganis, hingga Danau Taman Hidup menyapa kami dengan ramah. Namun sayang setelah kegiatan itu fokus berpindah kembali ke bangku kuliah. Hingga akhirnya Merapi kembali menjadi panggung terakhirku menjelajah rimba pada tahun 2012. Sampai setahun berikutnya, aku belum kembali ke panggung hiburanku.

Sampai akhirnya pecah telur di tanggal 9 Oktober 2013. Kembali Merapi menjadi saksi kerapuhanku menghadapi alam. Merapi memang menjadi tujuan favorit. Sudah 9 kali kuinjak – injak dia dan entah sampai hitungan keberapa nanti.

Dari tulian ini, selain untuk merayakan 4 tahun sudah aku menjelajah kabut rimba, hal ini menjadi instropeksi diri sendiri. Yang paling muluk jelas mengenai pertanyaan sudah apa saja yang sudah dilakukan selama empat tahun ini. Apa kontribusimu untuk negara ini beserta alamnya? Namun fokus saat ini adalah segera menyelesaikan kuliah dan membantu keluarga. Tak ada motivasi lain yang lebih indah dan kuat kecuali dari keluarga. Hingga akhirnya ada kesempatan untuk berkontribusi lebih kepada alam Indonesia dan masyarakatnya. Karena jujur, tak akan pernah lelah untuk mencintai alam negeri ini. Semoga petualanganku tak berhenti di tahun ke-empat ini. Salam rimba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline