MENENUN KEBIJAKAN PUBLIK DI BILIK TPS
(REFLEKSI ATAS LOKASI TPS DI PELOSOK- PELOSOK DESA )
Gema pemilu serentak 14 Februari 2024 semakin bergaung. Setiap gema disambut sorak sorai. Antusias para kontestan melalui wadah partai politik terus menghadirkan narasi- narasi di ruang publik. Masyarakat disuguhkan sekian informasi . Kadang informasi -- informasi manipulatif pun dikemas menjadi sebuah kebenaran. Di tengah pertarungan informasi di media, KPU bersama jajarannya terus memastikan setiap tahapan dilalui dengan baik, taat asas , tepat waktu. Satu tahapan yang telah dan sedang dilakukan adalah Penyusunan Daftar Pemilih. Secara regulasi sebagaimana tertuang dalam Keputusan KPU No 27 Tahun 2023 Tetang Pedoman Teknis Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Negeri Pada Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Daftar Pemilh Tetap yang tersebar di sekian Tempat Pemungutan Suara akan ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota pada tanggal 20-21 Juni 2023.
Tempat Pemungutan Suara (TPS) bukan sekedar tempat untuk warga masyarakat menyalurkan aspirasinya, tetapi TPS lebih dimaknai sebagi media transformasi informasi, transformasi kebijakan public dan sebagai sarana Integrasi Bangsa. Tulisan singkat ini sebagai sebuah refleksi atas proses menghadirkan TPS di pelosok -- pelosok desa yang terpencil , sulit dijangkau.
TPS Media Transformasi Informasi
Tempat Pemungutan suara, sebagai wadah masyarakat mempercayakan aspirasinya setelah mencermati, mendalami informasi berkaitan calon wakil rakyat yang akan dipilih. Pada masa tahapan kampanye setiap calon legislatif berjuang menghadirkan informasi yang baik dan benar kepada masyarakat, memastikan kepada para pemilih bahwa mereka pantas dipertimbangkan untuk dipilih, dipercayakan untuk mengemban mandate, aspirasi. Setelah memastikan pilihan yang tepat dan benar, para pemilih medelegasikan aspirasinya, serentak terjadi proses transformasi informasi menjadi kepercayaan penuh, total. Dalam tradisis Lamaholot- Kabupaten Flores Timur, aspirasi , suara disebut dengan Koda adalah sesuati yang suci, kudus.
Kemurnian koda ini, hendaknya ditenun menjadi satu kesatuan kesadaran dari para pengemban amanat untuk menghadirkan kebijakan public yang bersifat holistik. Bilik suara bukan sekedar tempat menyalurkan hak konstitusi tetapi ia harus dimaknai sebagai ruang kontemplasi sejenak ketika sesuatu yang suci , kudus harus diberikan kepada dunia, kepada orang yang mungkin akan mengkianati sang pemberi mandat. Ada proses membangun dan memberikan kepercayaan.
Psikolog agama James W.Fowler sebagaimana dikutip oleh Gregor Neonbasu dalam buku Etnologi Gerbang memahami kosmos menegaskan bahwa kepercayaan akan yang transenden selalu diwarnai dan dipengaruhi oleh factor-faktor pribadi dan budaya yang terbatas. Suara rakyat adalah suara Tuhan, Vox Populi Vox Dei . Tuhan yang Transenden hadir dalam Koda, Sabda. Para Pemilik Koda adalah Citra wajah yang Transenden. Menurut Filsfuf H.G Gademer dalam buku Gregor Neonbasu tanpa bahasa manusia tidak mungkin berbuat apa apa di dunia .
Tanpa Koda, aspirasi dari masyarakat seorang politisi tidak bisa meraih kekuasaan. Menerima mandat dari para pemilik koda seorang politisi, calon wakil rakyat dituntut untuk rela dan bersediah berjalan bersama, melewati segala rintangan dan tantangan untuk sebuah perjumpaan tulus, untuk sebuah dialog berbudaya yang terbuka.
Pemilu Sarana Integrasi Bangsa
Keberadaan beberapa TPS di beberapa pelosok desa yang sulit dijangkau dengan kendaraan, hanya ditempuh dengan berjalan kaki menerobos padang ilalang, membungkuk di bawah tali temali menjalar, menapak lembah memahat bukit dengan tapak dan keringat, di sana ada sebuah pesan yang teramat agung untuk dipahami. Di Balik bukit, ditempat terpencil ada suara tulus dalam ikatan kosmos. Mungkin mereka hanya berharap agar sang penerima mandat dapat memperjuangkan agar ada tapak jalan dapat dilalui kendaraan, agar mereka tidak perlu lagi memikul hasil pertanian, berjalan kaki menuju pasar dengan jarak sekian kilometer. Mereka hanya berharap ada jalan bagi anak -- anak mereka menuju gerbang kebijaksanaan agar anak- anak mereka bisa membaca dan menulis dengan benar. Tapi sayang teriakan mereka kembali memantul di dinding bukti sementara penerima kekuasaan telah menjadikan kursi kekuasaan menjadi sebuah makna kemalasan dialog dan perjumpaan.