Lihat ke Halaman Asli

Boly Uran

Seorang Petani yang suka melakukan kajian sosial budaya untuk membantu pembangunan Desa

Pemilu dalam Perspektif Budaya Tutu Koda

Diperbarui: 7 Juni 2022   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu sebagai sarana masyarakat menyalurkan aspirasi, adalah bagian teramat penting dalam  proses membangun bangsa dan negara. Aspirasi masarakat, suara rakyat adalah suara Tuhan ( Vox Populi Vox Dei ).  Menanta sistim dan memastikan proses penyaluran aspirasi masarakat secara bermartabat, taat pada regulasi adalah tanggung jawab semua pihak  termasuk pemilih. Tanggungjawab ini bukan hanya dibebankan pada penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum  dan  jajarannya sampai pada tingkat  Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

Menyongsong Pemilu serentak tahun 2024, KPU di setiap Kabupaten terus menggemakan pentingnya partisipasi masyarakat dalam  beberapa strategi sosialisasi. KPU Kabupaten Flores Timur mengemas strategis komunikasi yang disebut Tutu Koda Pemilu. Lewat tulisan singkat ini penulis mencoba menghadirkan sepenggal refleksi atas pendekatan Budaya dengan penekanan pada pilihan tema “ Tutu Koda Pemilu “

Masyarakat Lamaholot dalam kehidupan sosial budayanya tidak bisa terlapas dari tradisi budaya  “Koda“. Koda, kata, sabda yang menghidupkan, Koda yang mengispirasi serentak Koda mengikat.  Beberapa daerah menyebut koda dalam dialeg : tutu koda mari kiri, koda pulo  kiri lema.  Tutu berarti menuturkan. Koda: Kata, pesan, sabda.  Tutu Koda dalam terminologi budaya lamaholot dapat dimaknai  sebagai  proses menuturkan pesan pesan kehidupan yang selalu dirangkai dengan bahasa - bahas simbol. Tutu Koda sebagai mantra, doa , ikatan komitmen dalam sebuah ritual adat budaya. Kuntowijaya sebagaimana dikutip oleh Anton Baker dalam buku  Tantangan Kemanusiaan Universal (Kanisius, 1992 ) menegaskan bahwa “ Budaya adalah sebuah sistim yang mempunyai koherensi. Bentuk- bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku , mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep- konsep epistemologis dari sistim pengetahuan masyarakat ....”

Pemilu sebagai bagian penting dari  kehidupan masyarakat harus mampu dihadirkan dalam diskursus (tutu koda) kehidupan sosial budaya sebagai sebuah sistim pengetahuan. Slamet Sutrisno dalam artikelnya “ Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia (Kanisius, 1992 ) menegaskan bahwa “ perkembangan ilmu tidak terlepas dari perspektif nilai budaya, faktor kebudayaan merupakan penentu  bagi penguasaan dan pengembangan ilmu tersebut”. Pemahaman yang benar tentang pentingnya pemilu hanya bisa terbangun ketika proses komunikasi (koda) saling bersambung sebagaimana  padanan kata tutu koda mari kiri. Tutu : menuturkan, mari : mewartakan. Ada yang menyampaikan pesan dan  penerima pesan WAJIB melanjutkan pesan tersebut. Pesan kehidupan tidak boleh berhenti, harus terus digemahkan. Prinsip koherensi, keselarasan menegaskan nilai kesakralan dari koda tersebut sehingga harus dikawal tidak boleh dibelokan. Intinya Koda jangan dipolitisasi, jangan dinarasikan dalam bingkai HOAX.

Tutu Koda pemilu menujukan bahwa Pemilu adalah sebuah kesempatan yang teramat berharga bagi masyarakat untuk menyalurkan, menyerahkan koda, aspirasinya kepada Ata Dike ( orang baik ) yang dipercayai dapat mengemban, menterjemahkan serta mewujudkan koda tersebut. Konteks Koda sebagai sebuah amanat yang berharga menegaskan tentang sebuah nilai kebenaran. Koda yang dipercayai sebagai sebuah kepasrahan dalam dialog dengan wujud tertinggi serta para leluhur menegaskan tentang kesetiaan pada kebenaran bukan sebagai sebuah upaya memanipulasi  kejahatan terselubung.

Menyampaikan pesan pemilu adalah kesetiaan dalam membawakan serta mewartakan  kabar gembira, bahwa melalui pemilu dan pemilihan masyarakat berdaulat atas koda- kodanya. Untuk itu kedaulatan ini harus dilindungi dari segala upaya penghancuran melalui  berita berita bohong, berita manipulatif serta politik identitas yang terus marak dimainkan di media sosial. Kesadaran sebagai Ata Dike ( orang baik, bermartabat ) hendaknya menjadi penutun bagi semua penutur demokrasi. Para politisi yang akan maju menjemput koda- koda hendaknya menjaga martabat koda tersebut dari upaya perendahan martabat dengan praktek- praktek tidak benar seperti politik uang.

Koda Beridentitas Ata Dike

Setiap orang berhak dan berdaulat atas kehendaknya, aspirasi, harapan.  Kedaulatan yang tidak bisa diwakilkan ketika pemilih menggunakan hak konstitusinya. Ata Dike, Pemilih yang berdaulat juga wajib memastikan telah memiliki identitas diri yakni KTP-el serta terdaftar dalam daftar Pemilih.  Beridenitas dapat dimaknai sebagai kewajiban untuk mengawal kedaulatan  kodanya.  Kejelasan identitas  yang dapat dibuktikan menujukkan bahwa Koda yang akan diamanatkan ke calon wakil rakyat, ke calon pemimpin  adalah koda yang benar karena pemilik koda itu sendiri yang memberikan mandatnya. 

Kebenaran identitas sebagai warga negara Indonesia hanya dapat dibuktikan  dengan kepemilikan KTP- el.  Sebagaimana  penjelasan Dirjen Dukcapil Zudan Arif Fakrullah atas isu  kepemilikan KTP-el Warga Negara asing, dikaitkan dengan persiapan Pemilu serentak tahun 2024  yang dimuat di  harian Kompas, 1 Juni 2022. (https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/01/174500165/penjelasan-kemendagri-soal-isu-e-ktp-wna-dikaitkan-dengan-pemilu-2024-?page=all#page2) . Warga Negara Indonesia  dan warga Negara Asing sama sama memiliki KTP-el tetapi ada perpedaan sebagaimana penegasan dalam pasal 63 undang-undang nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Persyaratan bagi WNA yang akan memiliki KTP-el wajib memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap ( KITAP ).  Meski memiliki KTP-el WNA yang ber KTP- El tidak bisa menggunakan hak Pilih dan tidak bisa dipilih. Hanya dengan ada kepastian memiliki dokumen KTP-el yang menegaskan  tentang Identitas sebagai Ata Dike – warga negara Indonesia maka pemilih boleh dan wajib mendaulatkan kodanya, aspirasinya.

Koda dalam Wadah Gebia  Waja

Gebia adalah tempat menaruh siri pinang. Waja adalah menyuguhkan.  Gebia waja selalu ditempatkan  di titik sentral dalam sebuah acara, ritus ada juga dalam urusan sebuah persoalan, termasuk urusan pernikahan. Gebia Waja sebagai sebuah simbol persatuan, perdamaian. Setiap orang yang hadir dalam sebuah kegiatan wajib deba ( menyentuh ) Gebia dan bisa menikmati siri pinang. Gerakan tangan deba Gebia  menegaskan pergerakan seluruh jiwa dan raga untuk menjadi bagian yang utuh, tidak terpisahkan. Gebia waja juga sebagai sebuah media undangan untuk masyarakat hadir dalam sebuah kegiatan  pesta sosial budaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline