Lihat ke Halaman Asli

Seharusnya Identitas Etnik dalam Negara Demokratis

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam banyak peristiwa sejarah manusia di dunia , etnik menjadi episentrum, mendatangkan kekuatan dahsyat hingga tak jarang melahirkan  melahirkan perubahan.   Apa sebabnya? Hampir dengan mudah, dapat diidentifikasi  bahwa kekuasaan pada akhirnya tujuan suatu kelompok menaklukkan kelompok yang lain. Itu secara eksternal.

Namun secara internal,  kita tentu kadang masih bertanya-tanya, apa gerangan yang mendorong misalnya, bangsa-bangsa Mongol melakukan penalukkan dunia? Bangsa Jerman, Persia, dan sebagainya. Tak jarang di dunia kita temukan negara yang lahir dari hasil politik identitas etnik di abad modern, seperti Bangladesh yang didirikan etnik Benghali. Konflik negara Balkan, yang melahirkan Kosovo, Kroasia, dan  Bosnia. Konflik-konflik di Afrika, seperti suku-suku Burundi, Hutu dan Tutsi. Sebagian bahkan masih berjuang dan berusaha mendirikan negara seperti di Irlandia utara di Eropa, masyarakat Tibet di China, dan lain-lain.

Hal di atas hanya sebagai gambaran, bagaimana entitas etnik dalam sejarah peradaban manusia sebagai satu identitas kelompok. Guncangannya terjadi secara global dan menciptakan banyak transisi bernegara. Tentu tak dapat dipandang remeh.  Fenomena ini lahir terutama lemahnya sistim kekuasaan atau keakraban hubungan dari suatu kelompok dominan yang tergabung dalam suatu koalisi kelompok (Harold R.Isaacs). Jadi, riskan bagi negara multikultural yang memiliki identitas pemersatu lemah, baik secara ekonomi, sosial politik, dan sistim keamananan, atau tak punya kesadaran kolektif.

Politik identitas adalah satu tema pokok yang tidak pernah terpisah dalam masalah kehidupan berdemokrasi di negara manapun di dunia. Di Indonesia, apa lagi. Sebelum negara ini ada, sebelumnya komunitas etnik telah hadir dalam bentuk pemerintahan sistim adat dan kerajaan. Dalam segala aspek, mereka memiliki hukum sendiri-sendiri. Terutama dalam mengatur relasi rakyat dengan rakyat, atau hubungan sosial, ekonomi, dan relasi dengan pemimpin. Sebagian besar masyarakatnya berbentuk monogen, berbahasa dan ber-adat yang sama. Situasi ini menyerupai masyarakat modern Kota Athena pada masa Yunani Kuno, yang oleh Mac Iver dianggap sebagai persekutuan inklusif.  Sebagian pula telah membentuk kerajaan bangsa, menciptakan otoritas tunggal atas sejumlah entitas etnik, seperti ditemukan di Kerajaan Bugis Tua, Luwu.

Pasca kolonialisme sejak merdeka pada tahun 1945, kelompok identitasetnik di Indonesia turut memainkan perannya secara politik dalam membangun sistim kehidupan bernegara. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki jutaan etnik yang tersebar di wilayah propinsi. Setidaknya berdasarkan data Wikipedia, terdapat kurang lebih 300 kelompok etnik di Indonesia. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Realitas ini tak dapat dihindari, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, sebelum negara ini ada, telah terbentuk pula kesatuan-kesatuan etnik. Singkatnya, Indonesia negara yang terdiri dari kelompok, disatukan dalam satu identitas tunggal. Lalu, mungkinkah demokrasi dapat dibangun di atas kelompok etnik?

Beberapa dekade yang lampau para ahli telah mendebatkan, apakah demokrasi yang menekankan kebebasan dan persamaan hak perseorangan itu dapat berdiri di atas masyarakat multikultural? Meski sebenarnya, negara ideal akan menjadi diskursus sepanjang zaman (Mac Iver), namun sejumlah Filsuf dan Ilmuwan sosial politik berusaha merumuskan kehidupan demokrasi dalam cara mereka.

Dalam negara multikultural,Will Kymlicka (2002 : 77), John Stuart Mill mengutarakan gagasannya, bahwa negara bebas hampir tidak mungkin ada dalam negara multibangsa. Bagi Mill, demokrasi adalah pemerintah oleh rakyat, namun aturan sendiri hanya mungkin apabila rakyat adalah rakyat-suatu bangsa. Karena itu T.H. Green menguatkan pendapat Mill bahwa demokrasi liberal dimungkinkan hanya apabila rakyat merasa terikat pada negara dengan ikatan berasal dari tempat tinggal bersama dengan perkumpulannya, dari ingatan bersama, tradisi dan adat istiadat, dan dari cara merasakan yang sama dengan bahasa yang sama , dan lebih dari itu perwujudan kesustraan bersama. Oleh karena itu, aliran pemikiran ini menganggap suatu negara bebas, dalam hal ini demokrasi harus berupa negara bangsa, minoritas harus ditangani dengan asimilasi paksa atau dengan menarik garis-garis baru perbatasan, bukan dengan hak minoritas.

Banyak tokoh liberal menentang Mill, misalnya saja Lord Acton, mengatakan bahwa kebebasan sebenarnya hanya mungkin dalam negara multi bangsa, atau etnik. Menurut Lord, pembagian antara kelompok bangsa dan keinginan mereka akan kehidupan internal sendiri menjadi pencegah terhadap membesarnya penyalahgunaan negara. Perdebatan tersebut tentu hanya sebagian dari pergulatan pemikiran kalangan pemikir liberal.

Secara umum, menurut Kymlicka dari banyak pemikiran hampir sebagian besar mereka menerima eksitensi kelompok. Sebaliknya, kaum liberal mendukung pengakuan hukum atas kebudayaan minoritas atau menolak hak minoritas bukan karena mereka menolak gagasan tentang kebudayaan resmi, namun sebenarnya karena mereka percaya bahwa seharusnya hanya ada satu kebudayaan resmi”. (Will Kymlicka 2002: 79,81).

Meski mempertahankan ciri latar masyarakatnya yang multikultural, dan bertolak belakang dengan deskripsi Mill, setidaknya merujuk pada pendapat umum beberapa pemikir liberal lainnya, Indonesia masih dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi. Terlebih lagi Indonesia sukses menyatukan berbagai etnik tersebut dalam satu kesatuan yang disebut Mac Iver dalam negara modern

( 1984,1988: 36), sebagai nasionalisme, kriterium institusional dalam bentuk kedaulatan politik dan dalam bentuk hukum. Tentu, masih banyak pendapat-pendapat lain. Terlebih di luar beberapa pemikir liberal  di atas. Terutama bila menjadikan pemikir Islam klasik dan kontemporer rujukan.

***

Indonesia, meskipun memiliki latar belakang etnik atau bangsa, sejauh ini dapat menata kehidupan bernegaranya secara baik. Meski pada beberapa periode hidup dalam sistim otoritarian, tapi pada akhirnya mampu menjalankan proses bernegara melalui supremasi sipil.

Meski begitu, selama beberapa dekade, pergulatan etnik di pentas perpolitikan di Indonesia bukan berarti tidak memiliki hambatan. Berbagai ekses negatif akibat persaingan kepentingan dalam perebutan kursi kekuasaan seringkali melibatkan kepentingan di dalamnya, termasuk etnik atau kelompok. Dimensi masa lalu etnik seperti yang dijelaskan pada awal tulisan ini lebih dominan. Kekuatan “gelapnya” itu seringkali menjadi komoditas bagi elit politik.

Sebab itu, pada beberapa dekade terakhir ini diskursus mengenai etnisitas mengalami pasang surut. Sebagaimana benturan pemikiran tokoh-tokoh liberal di atas, juga tak sedikit kalangan yang beranggapan etnisitas harus di-eliminasi dari panggung politik di Indonesia karena mengancam disintegrasi nasional. Khususnya dalam usaha membangun negara Indonesia yang modern dan rasional sehingga menyamai negara-negara maju di dunia. Namun demikian, banyak pula yang berpendapat etnisitas harus dipertahankan karena memiliki banyak sisi positif dalam menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja,  menjadikannya sebagai alat pendekatan dalam menengahi konflik-konflik sosial dan menjaga keseimbangan, atau hubungan antara pemerintah pusat dengan di daerah.

Mestinya kita sadar, sebagaimana negara ini tak dapat menafikkan etnik, maka entitas etnik idealnya dapat menyesuaikan diri dengan demokratisasi dalam negara bangsa. Pada negara bangsa, idealnya eksistensi etnik pada negara multikultural sebatas pada penguatan nilai-nilai yang memiliki pertemuan atau kesamaan dalam membangun “kebudayaan bersama”, atau apa yang disebut pemikir di atas sebagai “satu kebudayaan resmi”. Karena hanya itulah satu jalan dalam membangun sinergisitas antara identitas etnik dan demokratisasi di Indonesia.

Dari segi nilai, kesatuan etnik di Indonesia, pada dasarnya memiliki tujuan sama, yaitu menciptakan kepemimpinan bermoral, jujur dan adil. Selain itu, nilai-nilai yang tertanam dalam realitas etnik, sebenarnya dapat menjadi prinsip-prinsip dasar dalam meminimalisir akses negatif konflik politik yang terjadi. Misalnya saja dalam kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar, kita mengenal konsep budaya Siri’, Sipakatau, dan Sipakainge. Dalam sejarah-sejarah yang menceritakan relasi antara rakyat dan pemimpin di Sulawesi Selatan, juga dikenal dikenal sanksi sosial, yang mencegah pemimpin menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Dalam silsilah raja-raja Bugis-Makassar di masa lampau, tak jarang kita menemukan raja yang melakukan pelanggaran, dan dihukum mati oleh rakyat. Meski secara totalitas, rakyat memiliki kesetiaan pada pemimpin atau raja, namun pada dimensi moral yang dianggap dapat mendatangkan bala’, raja dapat dihukum melalui pengadilan terbuka.

Pada akhirnya, identitas entik di negeri ini adalah kenyataan, dan pada pentas demokrasi dibutuhkan, selama dalam rangka menciptakan kepemimpinan bermoral. Itu harus, karena dalam sejarah konflik perebutan posisi, demokrasi hanya dapat  dipahami pada dua persepsi. Sebagai kekuasaan dimana warga negara dapat melakukan self-government dan self regulation. Atau, alat bantu pengambilan keputusan, yaitu warga melegitimasi suatu keputusan yang diambil perwakilan dan memberi kekuasaan kepada keputusan tersebut dari waktu ke waktu (Models of democracy).  Dan, identitas etnik memiliki pengaruh. Wallahu ‘alam bissawab!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline