Lihat ke Halaman Asli

Wapres Kita, antara Kalla dan Sangkakala

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinegeri ini,pemimpin tak pernah benar – benar hadir tapi yang selalu ada adalah penguasa. Mandat keuasaan yang diberikan rakyat melaui proses konstentasi yang bernama pilpres, dalam prakteknya lebih banyak digunakan sebagai untuk merealisasikan kepentingan pragmatis  bagi diri sang pemimpin dan konco – konconya. Dibanding untuk mengabdi pada negeri dan memimpin rakyat menuju kehidupan yang gemah ripah loh jinawi sesuai dengan tujuan inti pemberian mandat tersebut.

Sang penguasa  memang datang dan pergi. Tapi kehadirannya tak pernah persis sebangun dan kemudian memberikan jejak yang menjadi bukti bahwa rakyat di republik ini punya harapan dan cita-cita. Faktanya, sampai detik ini, jalan yang dilalui oleh para pemimpin kita itu seperti melenceng dari cita-cita luhur republik sebagaimana tersurat secara tegas baik dalam Pancasila maupun UUD 45.Kehidupan rakyat tetap saja merana karena pemimpin penguasa  dan juga negara seola-olah menjadi sosok yang asing dan sibuk dengan urusannya sendiri. Janji manis beserta bujuk rayunya yang diobral di arena konsolidasi dan diteriakan di mimbar-mimbar kampanye, hilang begitu saja dan menguap menjadi sekadar dusta! Benarlah apa yang dikatakan Nietzsche, “negara adalah monster yang terdingin hatinya, dan dengan dingin pula ia berdusta”.

Begitu pula di era Jokowi-JK. Terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada pilpres tahun 2014 membawa harapan baru bagi segenap rakyat Indonesia tentang hadirnya sesosok pemimpin bukan penguasa. Dengan tagline Jokowi-JK adalah kita,rakyat sebagai pemilik suara dibuat terhipnotis dan terlena untuk mendukung mereka bahkan secara membabi buta. Karena Jokowi-JK diharapkan oleh rakyat menjadi obat mujarab bagi semua “penyakit” yang melanda negeri ini selama berabad – abad, yaitu Korupsi yang menggurita,kemiskinan yang tak pernah beranjak sirna dan penyakit kronis bangsa yang lainnya  Sehingga hasilnya luar biasa, Jokowi-JK yang tadinya bukan siapa- siapa bertransformasi menjelma menjadi  peraup suara mayoritas rakyat yang kemudian menghantarkan mereka pada kursi kekuasaan bernama Presiden dan Wakil Presiden.

Tapi apa lacur, setelah di landa euforia yang yang luar biasa pasca terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden ke-7 Indonesia. Euforia rakyat Indonesia perlahan tapi pasti,sedikit demi sedikit mulai sirna laksana embun yang ditimpa kehangatan sinar mentari pagi. Setelah hampir ½ tahun berkuasa cara Jokowi-JK mengelola negara tidak juga menunjukan tanda – tanda bahwa mereka bisa dijadikan harapan rakyat untuk menjadi lokomotif perubahan kondisi negara dan rakyat menuju kearah yang lebih baik, yaitu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan rakyat sebagaimana amanat  UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara.

Melalui berbagai kebijakan yang telah dibuat,rakyat dibuat terperanjat dan akhirnya tersadar bahwa Jokowi-JK bukan pula juru selamat bagi  kehidupan negeri ini yang bisa dikatakan hampir kiamat. Mereka tak berbeda dengan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya,tetap lah penguasa negara bukan pemimpin negeri. Malah ada fakta menarik, walaupun belum lama berkuasa, produk kebijakan Jokowi – JK efek destruktifnya pada sendi – sendi kehidupan negara dan rakyat lebih luar biasa dibanding Presiden dan Wakil Presiden pendahulu mereka.

Kenaikan harga BBM, Kenaikan harga sembako, Impor beras, Impor gula , pengangkatan konco dan kroni dalam lingkaran kekuasaan, penanganan kisruh KPK adalah sebagaian dari produk kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat dan cenderung hanya bermuatan kepentingan bisnis dan kekuasaan.

Meminjam idiom dalam mitologi pewayangan, dimata kita sebagai rakyat jelata,Jokowi-JK perlahan tapi pasti bertransformasi dari manusia setengah dewa yang tanpa cela dan hampir paripurna menjadi sesosok batara kala. Yang ditakdirkan oleh sang hyang dewata, hadir di alam mayapada untuk membawa kerusakan dan lekat dengan aura “kematian” bagi kehidupan.

Hampir disetiap proses pembuatan dan pengumuman  kebijakan keduanya seperti berbagi peran. Ketika Jokowi berperan merumuskan maka Jusuf Kalla sebagai wapres mengambil peran untuk mengumumkan dan menyampaikan kepada rakyat, contoh dalam kebijakan kenaikan harga BBM. Sang Wapres, Jusuf Kalla laksana peniup terompet sangka kalla, yang ketika bersabda sama dengan mulai ditiupnya terompet kematian yang bernama sangka kalla. Dan ketika itu terjadi maka rakyat dipaksa untuk sadar dan menerima bahwa kerusakan sendi- sendi kehidupan mereka sudah akan dimulai serta bersiaplah untuk menghadapi “kematian”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline