Lihat ke Halaman Asli

TOLERANSI SEBATAS IMPIAN

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Toleransi Sebatas Impian.

Catatan Ir. Budiman Panjaitan

Baru-baru ini Menteri Agama RI Suryadharma Ali membuat pernyataan bahwa kerukunan beragama adalah yang terbaik di dunia. Berikut pernyataan selengkapnya yang diambil dari www.beritasatu.com

Menteri Agama: Kerukunan Beragama di Indonesia Terbaik di Dunia.

Meskipun banyak kasus-kasus kekerasan dan intoleransi beragama di Indonesia, Menteri Agama Suryadharma Ali, mengklaim Indonesia sebagai negara dengan toleransi tertinggi di dunia. Menag membantah berbagai laporan yang menyatakan kaum minoritas di Indonesia memiliki kesulitan dalam menjalankan keyakinannya. "Kaum minoritas diperlakukan sama dengan mayoritas. Kerukunan beragama di Indonesia terbaik di dunia," kata Menag di Jakarta, Rabu (23/5).

Suryadharma menggunakan kehadiran dirinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono dalam setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia bisa digunakan sebagai indikator. "Presiden, wakil presiden, dan menteri agama beragama Islam tapi juga ikut merayakan Natal, hari besar Hindu, Budha dan Konghucu. Tunjukkan kepada saya, negara mana di belahan dunia ini yang seperti itu," ujar Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini. Ia menanggapi rencana sejumlah LSM hak asasi manusia yang melaporkan lemahnya perlindungan hak kaum minoritas di Indonesia ke sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23-25 Mei 2012 di Jenewa, Swiss. Perwakilan para LSM ini bahkan terlibat sebagai pengamat dalam forum Universal Periodic Review (UPR) II Dewan HAM PBB tersebut.

Suryadharma menyayangkan aksi LSM ini, yang menurutnya justru mendiskreditkan negara sendiri. "Saya heran dan tidak habis pikir ada lembaga di Indonesia yang memberikan informasi yang jelek-jelek keluar. Padahal informasinya belum tentu seperti yang disampaikan. Jangan mendiskreditkan dan mempolitisasi agama," ujarnya.

Menag berkilah, kasus pembangunan gereja GKI Yasmin, yang masuk ke dalam laporan tersebut sebenarnya adalah mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan tidak berkaitan dengan toleransi beragama. Begitu juga kasus-kasus serupa dalam pembangunan rumah ibadah di Tanah Air. Menurutnya, bahkan negara-negara yang maju dan mengklaim sebagai negara yang mengagungkan kebebasan beragama juga tidak sepenuhnya bisa memberikan jaminan kebebasan beribadah kepada warganya. "Coba negara mana yang ribut-ribut soal agama di indonesia melebihi Indonesia (dalam toleransi beragama) ? Tidak ada”, kata Menag.

Kesedihan mendalam segera menyelimuti, setelah saya membaca pernyataan bapak Menteri Agama (Menag) diatas. Bagaimana tidak sedih jika beliau mengatakan bahwa kehadiran Pejabat Negara di hari besar keagamaan menjadi indikator (ukuran) terhadap toleransi itu. Sungguh kurang masuk diakal jika hal tersebut digunakan sebagai indikator akan toleransi beragama yang baik. Padahal seringnya benturan terhadap toleransi itu bukanlah di tingkat pejabat tetapi di lapisan masyarakat. Pak Menteri Suryadharma Ali bahkan mengklaim Indonesia sebagai negara dengan toleransi tertinggi di dunia, dinilai banyak kalangan sangat absurd dan tanpa pembanding.

Kesedihan semakin bertambah manakala Menag kemudian membantah berbagai laporan yang menyatakan kaum minoritas di Indonesia memiliki kesulitan dalam menjalankan keyakinannya, bahkan beliau berkata bahwa kaum minoritas diperlakukan sama dengan mayoritas. Kerukunan beragama di Indonesia terbaik di dunia !. Laporan yang dimaksud adalah laporan dari banyak lembaga yang prihatin dan mau membawa kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia ke mekanisme Universal Periodic Review (UPR),  Dewan HAM PBB,  atas laporan sejumlah lembaga HAM di Indonesia yang menyoroti kian memprihatinkannya kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Lembaga tersebut antara lain Komnas HAM, Komnas Perempuan dan sejumlah lembaga pemerhati HAM yang tergabung dalam Human Rights Working Group atauu HRWG. Bahkan Direktur HRWG,  Rafendi Djamin mengatakan saat ini di Indonesia telah terjadi pelanggaran HAM serius dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan.   Berbagai laporan pun menyebutkan sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia kasus kekerasan berlatar belakang agama memang terus menunjukan peningkatan, seperti Laporan SETARA Institute terakhir menyebutkan tahun 2011 lalu terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 299 bentuk tindakan kekerasan.

TOLERANSI ECEK-ECEK ?

Setiap masyarakat dari berbagai negara di dunia memiliki kepercayaan terhadap agama, bahkan hal-hal mengenai agama diatur dalam Undang-Undang Dasar (konstitusi) negara masing-masing. Karena telah diatur konstitusi, maka dengan demikian kebebasan beragama menjadi hak masing-masing individu yang bersangkutan.  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga telah mengatur Hak Kebebasan Beragama, dan hak masing-masing individu tersebut kemudian dituangkan dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada Pasal 22 dinyatakan bahwa (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Kita perhatikan ayat (2) diatas ; “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jaminan seperti apakah yang diberikan oleh Negara? Apakah kehadiran pejabat Negara dalam perayaan hari besar keagamaan sebagaimana diungkapkan Menteri Agama merupakan bentuk jaminan itu?

Namun apa yang terjadi, Negara absen dalam memberi jaminan itu. Lihat daftar pelarangan beribadah dan penutupan rumah ibadah selama tiga tahun terakhir yang begitu panjang, bahkan menurut saya terlalu panjang. Barangkali memang tidak banyak yang diberitakan di media massa, hanya ada beberapa seperti GKI Yasmin, GBKP Logas Riau, HKBP Ciketing, HKBP Filadelfia di Bekasi, dan lainnya. Dan yang paling anyar di awal bulan Mei 2012 penyegelan dan atau penutupan terhadap 17 (Tujuh belas) buah gereja di kabupaten Aceh Singkil, Provinsi  Nanggroe Aceh Darussalam. Disebutkan penyegelan gereja Katolik dan Protestan di kawasan Aceh Singkil tersebut dilakukan oleh Satpol PP Pemda setempat yang ditengarai dilakukan atas desakan kelompok ormas yang mengatasnamakan agama tertentu. Alasan penyegelan, tidak ada surat izin pendirian gereja sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Terasa aneh, gereja-gereja tua yang sudah lama berdiri pun ikut menjadi korban, contohnya Gereja Katolik Kampong Napagaluh Paroki Tumbajae-Manduamas, Keuskupan Agung Sibolga, yang undung-undungnya (kapel) telah berdiri sejak tahun 1974, atau 32 tahun lebih tua dari perber tersebut.

Jika penutupan rumah ibadah terjadi atas desakan kelompok massa atau tekanan massa seperti yang terjadi sekarang ini, tentunya tidaklah mencerminkan adanya toleransi yang tinggi sebagaimana disampaikan Menag. Absurd ! Begitupun keadaannya, Negara diam seribu bahasa, Negara seperti tak bertelinga.  Perber itu sudah bertahun-tahun dikritisi dan diminta oleh berbagai pihak dari lintas agama untuk dibatalkan, karena ketentuan didalamnya dianggap membenturkan masyarakat dalam melaksanakan ibadah agamanya (dapat menimbulkan terjadinya intoleransi). Dimana dalam pasal 13 dan pasal 14 perber dimaksud, persyaratan mendirikan tempat ibadah sangat menyulitkan kelompok minoritas dan dinilai oleh berbagai pihak sangat diskriminatif. Lantas pernyataan menag bahwa minoritas diperlakukan sama dengan mayoritas wujudnya dalam hal apa?  Maraknya perusakan dan pelarangan berdirinya rumah ibadah justru karena Perber tersebut memberi peluang bagi kaum mayoritas di suatu tempat untuk menghalangi berdirinya rumah ibadah agama lain.

Kita simak persoalan yang masih hangat dalam pemberitaan seperti GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Gereja-gereja di Aceh Singkil, dimana bukan hanya aparat pemerintah yang turun ke lokasi gereja tersebut tetapi dipenuhi oleh aksi-aksi dan tindakan tidak terpuji dari massa intoleran. Semuanya itu tidak terlepas dari peluang yang diberikan oleh Perber tersebut kepada masyarakat dari umat lain untuk bertindak sebagai “panglima penegak perber”. Tak pelak, keresahan sosial di tengah masyarakat pun merebak, tindak kekerasan atas nama agama pun terjadi dimana-mana. Sangatlah disesalkan dan menyedihkan jika kehidupan beragama digantungkan pada kehendak orang lain.

Dalam satu kesempatan beberapa waktu lalu, Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola mengatakan kasus perusakan rumah ibadah menjadi masalah tersendiri di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia juga menilai bahwa aparat keamanan Negara pun seakan tidak berdaya melihat kearogansian sekelompok masyarakat yang tidak bisa menerima perbedaan, pemerintah semestinya dapat bertindak tegas, demikian kata Tamrin.

Mencermati beberapa uraian diatas, dimanakah toleransi yang digembar-gemborkan itu?  kemudian dimanakah jaminan yang diberikan oleh Negara itu? Bilamana sekelompok massa menghalangi, mengganggu dan membatalkan pengamalan agama dan keyakinan tertentu yang sudah jelas merupakan pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap UUD 45, siapakah yang mesti bertindak? Mestinya Negara ada disitu untuk memberi jaminan dan perlindungan kepada warganya karena urusan beribadah adalah hak konstitusional setiap warga Negara.

Masih menurut Menag, kasus GKI Yasmin adalah mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan tidak berkaitan dengan toleransi beragama, begitu juga kasus-kasus serupa dalam pembangunan rumah ibadah. Sebuah ironi di pentas opini kekinian, bahwa pak Menteri menyamaratakan semua kasus tentang pembangunan rumah ibadah, Ia lupa kasus yang masih baru tentang puluhan gereja di Aceh Singkil yang ditutup walau gereja-gereja tersebut sudah lama berdiri, ia lupa gereja-gereja di Jawa Barat yang mengalami kesulitan, ia lupa  tempat ziarah umat Katolik di DIY dan Jateng yang santroni massa dan ia lupa tempat-tempat ibadah agama lainnya yang juga mendapat perlakuan tidak adil dari warga intoleran.

Harapan kita kepada Menag sebagai pejabat publik, haruslah memiliki “sense of crisis” bahwa ternyata sudah begitu banyak kasus pelanggaran terhadap toleransi beragama di negeri ini. Marilah bersikap Jujur pada keadaan ini, bahwa hubungan antar umat beragama di beberapa bahagian negeri sudah terganggu, yang mestinya bisa tidak terganggu, bila Negara hadir sebagai panglima penegak toleransi.

Jujurlah bahwa ternyata “Toleransi” yang didengungkan masih sebatas impian belaka kalau tidak mau disebut toleransi abal-abal (baca: ecek-ecek). Oleh karena itu Negara tidak boleh diam sebagai alat untuk kebaikan dan ketertiban umat manusia di bumi Indonesia, Negara harus jujur dan dapat membuktikan bahwa heterogenitas suku dan agama penghuni bumi Indonesia merupakan aset kekayaan, tidak boleh menjadi ancaman terhadap entitas Indonesia itu sendiri. Peace !!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline