Lihat ke Halaman Asli

Hukum Alam Tidak Berjalan Mundur

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena ini adalah catatan harian, sebenarnya judul bukan sesuatu yang punya arti apapun. Apa yang tercatat dalam tulisan inilah yang paling punya arti bagi catatan pengalaman batin saya. Tadi siang saya ke bengkel sepeda motor. Kecuali servis rutin juga ada yang saya keluhkan secara khusus yaitu suara yang mengganggu kenyaman saya waktu motor saya kendarai di jalan yang banyak lubang. maksud saya adalah jalan yang rusak. Karena saya bukan ahli dalam hal memperbaiki sepeda motor tetapi ingin menikmati berkendaraan dengan motor yang sudah bukan baru lagi itu, tidak ada cara lain kecuali ke bengkel ahlinya. Sementara saya menunggu giliran motor saya ditangani, saya omong-omong dengan seseorang yang berkepentingan sama dengan saya. Kebanyakan orang punya naluri yang sama, yaitu mudah akrap ketika mempunyai kepentingan yang sama. Demikian juga saya dengan orang ini. Tanpa saling mengenal sebelumnya, bahkan tahu nama masing-masing sekalipun, kami sudah bisa ngobrol dengan santainya. Tentu tentang motor yang bermasalah. Berikut sebagian percakapan kami yang punya kesan khusus:

Dia: “Padahal motor saya masih terhitung baru lho pak. 2009 lho”.

Saya: “Servisnya juga rajin?”

Dia: “Who… terasa nggak enak sedikit saja langsung saya bawa ke sini”.

Saya: “Jadi baikkah kemudian?”

Dia: “Sepertinya nggak mungkin kembali seperti semula”.

Saya: “Sekalipun semua sudah diganti?”

Dia: “Ya. Kecuali ganti STNK dan BPKB-nya…..”, dia tertawa dan saya mengerti maksudnya, yaitu beli sepeda motor baru.

**************

Mekanik: “Sudah pak (maksudnya perbaikan sudah selesai dilakukan), tapi tidak bisa kembali seperti baru, paling tidak lebih baik dari tadi lah…..”.

Dia: “Ya…… nggak papa, aku ngerti”, nampaknya ia seorang sosok yang bijak.

**************

Akhirnya sepeda motor saya selesai juga. Saya langsung pulang. Dari percakapan di bengkel tadi saat saya melewati jalan rusak yang harus saya lewati tanpa ada pilihan lain, saya ingat lagi bincang-bincang santai itu. Jalan ini entah berapa kali telah diperbaiki. Tetapi rasanya bukan semakin baik tetapi semakin parah. Perjalanan saya terhenti karena ada iring-iringan pengantar jenasah. Ekspresi mereka berbeda-beda. Ada yang bergurau, ada yang berbincang serius entah tentang apa, tetapi juga ada yang menangis sambil menggendong anaknya. Yang terakhir saya sebut ini pastilah keluarga si jenasah.

**************

Saya tidak mengerti, mengapa hari ini saya begitu sensitive pada beberapa hal yang saya temui. Sepeda motor yang tidak mungkin kembali seperti baru walaupun diperbaiki, jalan yang semakin rusak walaupun berulangkali diperbaiki, jenasah dan ibu yang menangis dengan anak di gendongannya.

Saya ingat konsep tentang alam semesta yang saya baca dalam buku karangan Mr. Li Hongzhi yang berjudul ‘Zhuan Falun’: ‘lahir-tua-sakit-mati’ dan ‘terbentuk-bertahan-rusak-musnah’. Terbersit di benak saya sebuah pesimisme yang mendebarkan hati. Segala sesuatu akan musnah setelah tiba waktunya. Memperbaiki hanyalah sebuah upaya memperpanjang fase ‘bertahan’ menuju ke’musnah’an atau bagi manusia sebagai individu cuma memperpanjang masa ‘tua dan sakit’ sebelum ke’mati’annya. Sebuah upaya sia-sia. Keniscayaan yang sia-sia. Lalu pertanda apakah semua kejadian yang kini sedang berlangsung di seluruh dunia? Misteri panjang perjalanan alam seiisinya.

Sidoarjo, 1 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline