Lihat ke Halaman Asli

1000 Perahu, 1 Nahkoda

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13357192072056932161

[caption id="attachment_174407" align="aligncenter" width="527" caption="Sumber foto: Dokumentasi sendiri "][/caption]

Surabaya, 28 April 2012

Andik kuncoro anak pertama dari tujuh bersaudara, laki-laki yang berumur 24 tahun ini kini telah mendapatkan beasiswa Magister Manajemen (S2) di salah satu Perguruan Tinggi Swasta yang ada di Surabaya. Tak hanya disitu saja, semasa menempuh kuliah strata satu (S1) jurusan Manajemen dia selalu “bergelut” dengan beasiswa.Di kenal sesosok mahasiswa yang cerdas, dan pekerja keras, dengan Indeks Prestasi cum-laude (Penghargaan BEST COMPLIMENT BACHELOR XXXIII) telah di sandangnya tak anyal tujuh semester pun dapat di tempuhnya. Hanya berbekal niat dan kerja keras yang memacunya hingga saat ini.

Jumat, 28 April 2012 jarum jam tersudut di anggka 17.00 WIB, berbekal buku kecil seukuran nota dan Hand Phone (HP) sebagai alat perekam saya berhasil “mengintrogasi” dan menghimpun beberapa keterangan dari tempat tinggalnya, kebetulan dia di Surabaya ikut pamanya. Kuliah di Universitas Narotama. Bertempat tinggal di Trenggalek. Bekeja sebagai tenaga honorer di Institut Sepulouh Nopember Surabaya (ITS) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Kuliah saya dari mulai S1 sampai S2 masuk dalam kelas malam, pulang kerja jam 5 sore setelah itu saya siap-siap untuk berangkat kuliah , ”ujarnya.’

Era Remaja “SiSulung”

Ternyata semasa kecilnya dia tak berfikir bisa kuliah. Hidup dari orang tuanya yang serba pas-pasan, yang hanya berprofesi sebagai buruh serabutan. Kerja keras pun harus dilakoninya unuk mengais rupiah, membantu pendapatan ekonomi orang tuanya waktu itu menjadi piliahan dari anak pertama tujuh bersaudara ini. Dari semenjak sekolah SMP andik (sapaan akrabnya) sering bekerja keras, Jika teman sebayanya kala itu disibukkan dengan bermain, beda dengan laki-laki berumur 24 tahun ini, ketika waktu musim panen padi tiba dia malah bergelut dengan tanaman padi. kerja derep (ikut memanen padinya petani di sawah) pekerjaan itu di lakoninya sehari penuh mulai dari puku 07.00 pagi sampai sore menjelang matahari mulai tenggalam. Musik penggilas padi seakan menjadi teman yang memecah keheningan.

Upah yang diterimanya pun bukan beruapa uang namun gabah dengan berat 30 kg kalau pun toh gabahnya sudah di keringkan beratnya pun hilang separuh. Menyusut. Ini tak sebanding dengan kerja seharian yang dilakoninya. Lantas bagaimana dengan sekolahnya ? pekerjan ini dilakukan pada hari sabtu dan minggu.

Tak sampai disitu saya mencoba mengupas lebih jauh kerja apa saja yang pernah di lakoni Si “Sulung” penerima beasiswa Magister Manajemen ini. Selain dereb ada profesi yang mungkin membuat sebagian orang belum tau mengenai istilah ini. Luru Cengkeh (pungut cengkeh). Hutan menjadi tempat untuk mengais rejeki. Pekerjaan ini dilakoninya pada saat musim panen cengkeh tiba, tepat hari minggu,harus bangun pagi-pagi sekitar jam 05.00, sinar matahari pun masih tenggelam di ufuk timur. Tapi saya taksendirian juga ada teman saya dan kebetulan masih tetanga dengan saya, ‘’katanya. Dalam satu kali masa panen cengkeh tiba, laki-laki yang kini bekerja sebagai tenaga honorer di FMIPA ITS ini bisa mengumpulkan 2 kg cengkeh kering dari hasil memungut cengkehnya di hutan. Selain dua pekerjaan di atas, masih ada pekerjaan lain yang dilakoninya, mulai dari tukang pembuat batu bata di sawah, sampai jadi pemulung.

Merantau Ke Surabaya

Ketika lulus dari SMP Negeri 1 Panggul Andik tidak melanjutkan sekolah ke jenjang setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). hal itu lantaran orang tuanya yang tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Setelah tiga bulan semenjak lulus SMPAndik mencoba mengadu nasib di kota Surabaya, ihwal keberangkatanya setelah pamannyamengabari ada pekerjaan sebagai penjaga wartel.

Masa itu di tahun 2004 berbekal ijazah SMP Andik meniti masa depan di kota pahlawan. Jika dalam taksi terdapat argo untuk mengecek besaran biaya yang harus di bayar setiap pelanggan tetapi dalam wartel “argonya’’ berupa computer. Dari layar monitor komputer ter-otomatis berapa biaya pengguna setiap kali telfon. Dari situ timbul masalah, usut punya usut Si Sulung ini tiadak bisa mengoperasikan komputer, tak mudah menyerah pada ke adaan Andik meminta kepada temanya yang kebetulan bekerja sebagai penjawa wartel utukdi les-privatkan belajar computer.

Dari penjaga wartel itu Si Sulung mengenal lebih jauh tentang komputer. Sebagai penjaga wartel ternyata gajinya tak menentu waktu itu, pendapatanya tergantung dari situasi fluktuatifnya pengguna jasa telfonwaktu itu. Pernah dalam satu minggu masa kerja hanya mengantongi uang 20.000. Dengan uang sebesar20.000 harus di putar utuk mecukupi kebutuahn hidupnya, semua pengeluaran harus di hemat. “terangya.’’ Setelah kurang lebih 2 bulan “mendiami” wartel, neneknya yang kebetulan kerja di Surabaya menawari pekerjaan sebagai penjaga tokomesih jahit di Pasar Turi.

Tanpa menunggu lama Si Sulung ini langsung meng-iyakan. Dari berpindah pekerjaan ini Si Sulung berharap pendapatanya melebihi pekerjaannya yang dulu, yang hanya sebagai penjaga wartel, tidak hanya penjaga toko mesin jahit, menjadi kuli angkut mesin menjadi langgananya tiap hari. Tak anyal dalam seminggu kerja di Pasar Turi tubuhnya mengalami “penyusutan”berat badan (keceng). Jam istirahat pun hanya di waktu makan siang, kamera CCTV menjadi mata-mata pengintai di tempat kerjanya. Tak ada waktu untuk santai-santai sejenak meregangkan otot yang kram setelah bergulat mengakat mesin jahit.

Jarak dari tempat tinggalnya menuju ke Pasar Turi harus ganti angkutan umum (len) sampai 3 kali, tak ada sepeda motor waktu itu. Praktis gajinya harus di “bagi”dengan supir len. Tepattiga tahun lebih kerja di Pasar Turi gajinya hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Masalah financial menjadi isu sentral yang membelitnya dalam perantauan di kota pahlawan. Dengan mata berkca-kaca pria berusia 24 tahun ini menceritakan dengan nada yang datar.

Beruntung niatnya ingin mengadu nasip di Surabaya mulai terang ketika berhasil menjadi tenaga honorer di Institut Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Ihwal kronologi informasi lowongan kerja sebagai tenaga honorer di ITS, di dapat dari pamanya yang kebetulan bekerja di kampus yang berlokasi di Keputih kecamatan Sukolilo itu. Hanya berbekal ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak ada keahlian yang bisa di tawarkan secara “lebih’’tak anyal pekerjanya pun ketikamasuk kerja sebagai tenaga honorer hanya sebagai tukang bersih-bersih (cleaning service). Hanya sedikit pengetahuannya mengenai komputer sewaktu menjadi penjaga wartel, tenaga honorer di FMIPA ITS ini berusaha belajar computer lebih medalam di ruang kejanya, al-hasil antusiasmenya mendapat kesempatan kuliah D1 PAPSI ITS, sebelumnya masuk D1 PAPSI ITS dia telah lulus ujian paket C (kesetaraan tingkat SMA di Surabaya). Setelah lulus dia mulai meninggalkan sapunya dan memegang kendali jaringan computer yang ada di FMIPA. Dari situ Andik mulai melanjutkan kuliahnya sampai sekarang.

Di sesi menjelang menit-menit akir saya menanyakan: “Spirit” apa yang anda tanamkan selama ini ? Kerja Keras, Kerja Iklas, Kerja untuk mada depan. Orang Hidup harus punya tujuaan, ibaratnya wong kita ini naik taksi saja ada tujuanya, terus kalau gak ada tujuan lalu mau kemana.’’tegasnya.

Pertanyanya terakir yang saya lontarakan, apa ke inginan ke depanya setelah lulus kuliah S2 ini?. Saya berniat mengambil kuliah S3 di luar negeri sembari mencari beasiswa. Kemudian bisa menyekolahkan 4 adik-adik saya sampai ke jenjang perguruang tinggi dan setelah itu harus bisa menepatkan diri di masyarakat jadi orang yang bermanfaatlah sesuai sabda Rasulullah SAW "...Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia..." [HR. Thabrani dalam Al-Ausath]’’ imbuhnya.’’

Salam @boedipanggul




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline