Tahun baru pada sistem kalender Jawa, yaitu tanggal 1 Suro, juga pada malam 1 Suro, diadakan banyak kegiatan ritual baik oleh masyarakat maupun yang diselenggarakan oleh beberapa keraton di Jawa.
Ritual tersebut diantaranya adalah laku topo mbisu mlampah mubeng benteng Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, larungan atau labuhan dan sedekahan di pantai Parangkusumo, jamasan pusaka keraton seperti keris dan tombak serta kereta kerajaan, bertapa di gua Langse, bertapa kungkum di tempuran sungai atau kedung, dan lain sebagainya.
Sejak kapan peringatan satu suro ini mulai dikenal oleh masayarakat Jawa ?.
Jika kita runut sejarahnya, masyarakat Jawa pada masa sebelum pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo itu menggunakan kalender Saka Hindu Jawa yang tidak mengenal istilah tahun baru 1 Suro.
Sultan Agung memerintahkan untuk merubah penggunaan sistem kalender dari semula sistem kalender Saka menjadi sistem baru yang mengacu dan mengadopsi sistem kalender Hijriyah dengan beberapa penyesuaian dan modifikasi tertentu.
Penyesuaian dan modifikasi tersebut antara lain adalah di pemberian nama bulan. Pada sistem kalender Saka Hindu Jawa nama bulan yang menggunakan nama dari bahasa Sansekerta dirubah dengan nama yang mirip dengan nama bulan di sistem kalender Hijriyah atau mengambil sesuatu peristiwa yang menonjol terjadi pada saat bulan tersebut.
Nama bulan pada sistem kalender baru itu, yaitu : Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Selo atau Dulkangidah, Besar atau Dulkijah.
Nama-nama bulan tersebut mirip dengan nama bulan di kalender Hijriyah, yaitu : Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadhan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.
Lalu jika tahun baru yang pada kalender Saka Hindu Jawa bersamaan dengan saat hari raya Nyepi yang sekitar bulan Maret pada kalender Masehi, maka di sistem kalender baru tersebut yaitu tanggal 1 Suro, ditepatkan dengan tahun baru di sistem kalender Hijriyah yaitu tanggal 1 Muharram.
Perubahan sistem kalender itu dilakukan oleh Sultan Agung pada hari Jumat Legi yang pada saat pergantian tahun baru Saka 1555 ketika itu bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Namun, pada pergantian sistem kalender itu tidak mengganti penamaan tahunnya mengikuti tahun Hijriyah, namun tetap meneruskan penamaan tahun Saka Hindu Jawa. Sehingga tahun pertama di sistem kalender baru tersebut memakai nama tahun 1555 Jawa.
Lalu, mengapa di perkembangannya kemudian, tanggal 1 Suro itu oleh masyarakat Jawa selalu dikaitkan dengan sesuatu yang sakral dan magis serta mistis, bahkan juga dikaitkan dengan mahkluk-mahkluk lain di alam ghaib seperti Nyai Roro Kidul, dedemit dhanyang tempat-tempat wingit dan keramat, dan yang sejenisnya ?.
Wallahualambishshawab.
*
- Artikel bertema lainnya dapat dibaca di : ‘Monarki Jogja & Gubernur Seumur Hidup’ ,‘Jogja Istimewa : Jangan Usik Tahtaku !’ ,‘Mengapa kok TKW ?’ ,‘Muara Kasus Gayus’ ,‘Uji Loyalitas Pelanggan SPBU Pertamina’ .
- Gambar ilustrasi dicopypaste dari : sini .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H