Gonjang-ganjing perihal keistimewaan propinsi Yogyakarta rupanya sudah mulai memasuki tahap inti masalahnya.
Apa yang membuat Yogyakarta menjadi Istimewa ?. Apakah istimewa hanya karena jabatan Gubernur dengan periode jabatan selama seumur hidup ?.
Inilah rupanya yang menjadi pusat perdebatan tentang inti dan makna dari keistimewaan propinsi Yogyakarta, yaitu di soal jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dimana propinsi Yogyakarta menjadi seolah-olah tidak lagi istimewa jika Gubernur dan Wakil Gubernurnya tidak lagi secara otomatis dijabat oleh siapapun juga yang menduduki tahta di Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Pura Kadipaten Pakualaman, dengan masa jabatannya selama seumur hidupnya dan berlaku turun temurun..
Sebenarnya untuk soal ini, di tahun 2007 yang lalu pernah dibentuk tim yang ditugaskan khusus untuk merumuskan soal jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Tim yang berisikan para ahli dari kalangan akademisi UGM (Universitas Gajah Mada) ini hasilnya secara umum mengonsep sebuah sistem ala ‘monarki konstitusional’ di Yogyakarta, yaitu sebagai berikut :
1.Pemerintahan Daerah Provinsi sebagai lembaga eksekutif penyelenggara urusan pemerintahan, dibawah pimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan ketentuan masa jabatan seperti yang diatur oleh undang-undang.
2.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif, dengan ketentuan seperti yang diatur oleh undang-undang.
3.Pengageng Keistimewaan Yogyakarta sebagai lembaga yang mempunyai fungsi sebagai simbol dan pelindung budaya serta pengayom masyarakat.
Pengageng Kistimewaan ini terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman yang bertahta secara sah.
Pengageng Keistimewaan ini memiliki hak istimewa yaitu antara lainnya adalah memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Gubernur dan/atau calon Wakil Gubernur yang telah dinyatakan memenuhi syarat oleh Komisi Pemilihan Umum.
Juga mempunyai hak dan wewenang memberikan arahan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur untuk sejumlah urusan tertentu yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan daerah.
Kemudian juga Pengageng Keistimewaan ini berhak dan berwenang untuk mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Namun rupanya konsep dari tim itu tidak terpakai, tidak jelas pihak mana yang tidak menyetujuinya, apakah pihak pemerintah pusat atau pihak DPR atau pihak Kasultanan dan Pakualaman.
Perdebatan kembali lagi hanya berkutat di seputar dua pilihan saja, yaitu : Gubernur dan Wakil Gubernur itu dipilih oleh rakyat secara langsung, atau Gubernur dan Wakil Gubernur itu secara otomatis dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman dengan masa jabatannya selama seumur hidupnya dan berlaku turun temurun.
Persoalan pun tereduksi menjadi seolah-olah Yogyakarta menjadi tak lagi istimewa, jika Gubernur di masa mendatang itu dijabat oleh mereka yang bukan golongan bangsawan namun mempunyai potensi kepemimpinan yang cukup mumpuni dan teruji, seperti misalnya Idham Samawi (mantan Bupati Bantul) dan Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta).
Jadi, apakah Yogyakarta memang hanya istimewa jika Gubernur di masa mendatang itu dijabat oleh GKR Pembayun sang calon Sultan HB XI itu saja selama seumur hidupnya ?.
Wallahualambishshawab.
*
- Artikel bertema terkait dapat dibaca di : ‘Khalifah Wanita di Kasultanan Yogyakarta’ , ‘Mbah Marijan, Hangrungkepi Momongane’ ,‘Maridjan Katsumoto Suraksohargo’ ,
- Artikel bertema lainnya dapat dibaca di : ‘Uji Loyalitas Pelangan SPBU Pertamina’ ,‘Mengapa kok TKW ?’ ,‘Muara kasus Gayus’ .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H