Lihat ke Halaman Asli

Industri Wisata Gigolo Kuta Bali

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gigolo

Masih ingat saat gegeran adu argumen soal UU (Undang-Undang) Anti Pornografi ?.

Saat itu, ditengah geger lantaran polemik tentang urgensinya UU itu, wilayah propinsi Bali pun ikut geger dan gonjang-ganjing.

Bahkan saat itu ada sekelompok masyarakat Bali yang mengatasnamakan seluruh rakyat propinsi Bali yang sampai melontarkan ancaman bahwa propinsi Bali akan memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) jika UU tersebut disahkan dan diberlakukan.

Saat ini, ditengah serunya polemik tentang keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menolak gugatan uji materi atas UU tersebut, wilayah Bali kembali geger dan gonjang-ganjing lagi.

Namun, kembali geger dan gonjang-ganjingnya Bali kali ini bukan lagi lantaran UU Nomor 44 Tahun 2008 tersebut.

Geger dan gonjang-ganjingnya Bali kali ini lantaran sebuah film dokumenter  berdurasi lebih dari 10 menit hasil garapannya Amit Virmani, seorang sutradara kelahiran India yang saat ini berdomisili di Singapura.

Film dokumenter yang berjudul ‘Cowboys in Paradise’ ini mengisahkan sepak terjang dan kehidupannya para gigolo yang beroperasi di Pantai Kuta Bali. Mereka para gigolo itu memberikan jasa kepada para turis perempuan untuk menjadi teman ngobrolnya hingga menjadi teman pemberi kepuasan seks.

Film Cowboys in Paradise walau belum dirilis, namun sudah sukses meraih sejumlah penghargaan dalam Korean International Documentary Festival.

Trailer atau cuplikan film ini sudah beredar meluas di internet, baik di situs resminya Cowboysinparadise.com atau di facebook Cowboys in Paradise atau di situs-situs lainnya termasuk di situs Youtube Cowboys in Paradise Trailer.

Tentu saja, banyak pihak yang kemudian membantah dengan keras akan kebenaran fenomena yang diangkat dalam film dokumenter itu.

Film dokumenter ‘Cowboys in Paradise’ yang mengangkat fenomena para gigolo Kuta Bali yang menjadi salah satu daya tarik pariwisata Bali ini oleh beberapa pihak telah dianggap merusak citra pariwisata pulau dewata itu.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika merasa prihatin terhadap munculnya film dokumenter yang mengisahkan sisi negatif dari pulau dewata.

Kita akan mengambil tindakan agar citra Bali sebagai pulau spiritual tidak ternoda”, kata Made Mangku Pastika.

Gubernur juga mempermasalahkan perihal izin shooting film ini. “Gak ada izin, itu jelas melanggar. Kita akan telusuri apakah film itu resmi atau nyuri-nyuri”, kata Made Mangku Pastika.

Polda Bali pun tak tinggal diam, jajaran mereka juga mulai bergerak. “Berkaitan dengan video yang beredar saat ini, kami sedang mengumpulkan materi isi video tersebut. Kami akan mengumpulkan barang bukti, saksi-saksi, termasuk pembuat film. Kami sedang mempelajari proses pembuatan video tersebut. Hasil sementara (pembuatan film itu) tidak ada izinnya”, kata Kepala Bidang Humas Polda Bali, Kombes Gede Sugianyar Dwi Putra.

Disamping itu, pihak Polri juga menggandeng pihak-pihak lain. “Untuk mengantisipasi adanya sinyalemen seperti apa yang digambarkan film itu, pihak kepolisian akan melakukan kegiatan yang sifatnya preventif dengan melibatkan Satpol PP dan satgas pantai yang diberi kewenangan untuk mengelola pantai tersebut”, kata Gede Sugianyar Dwi Putra

Dan menurut berita di Kompas.Com, bahkan Satgas Kuta juga telah melakukan razia di sepanjang Pantai Kuta, dengan hasil 28 orang yang dicurigai sebagai gigolo dan WTS (Wanita Tuna Susila) berhasil dijaring.

Razia ini terkait pemutaran film Cowboys in Paradise yang diprotes masyarakat Kuta karena dianggap melecehkan” , kata Kepala Satgas Pantai Kuta, I Gusti Ngurah Tresna.

Di sisi lain, film ini menurut Amit Wirmani sebagai sutradaranya, ilhamnya bermula dari keterkejutan dirinya saat bertemu dengan bocah lelaki Bali berusia 12 tahun yang sedang belajar bahasa Jepang lantaran cita-citanya ingin menjadi gigolo.

Kalau saya sudah besar nanti, saya mau memberi layanan seks untuk gadis Jepang”, kata bocah usia 12 tahun itu.

Berdasarkan itu, maka Amit pun kemudian di tahun 2007 melakukan riset di Bali dengan melakukan sejumlah wawancara kepada kepada para turis asing sebagai pengguna jasa para gigolo itu, maupun juga kepada para gigolonya yang ia sebut dengan sebutan ‘Kuta Cowboys’.

Setahun setelah itu, ia kembali melakukan proses yang sama. Kali ini ia melakukannya secara lebih serius dan lebih mendetail lagi.

Akhirnya film ini yang secara keseluruhan membutuhkan waktu penggarapan selama dua tahun itu berhasil dselesaikannya.

Amit juga mengaku terkejut dengan kenyataan fenomena Kuta Cowboys di Bali itu. Menurutnya itu prostitusi semata, yang dipicu kemiskinan.

Wisata seks untuk perempuan sangat umum di negara miskin dan pantai-pantai populer terutama di Asia Tenggara”, kata Amit.

Terlepas dari bantahan beserta polemik yang menjadi ekor dari kemunculan film dokumenter berjudul ‘Cowboys in Paradise’  yang mengangkat fenomena ‘Kuta Cowboys’ ini.

Perlulah kita bersama merenungkan sejenak bahwa dalam beberapa hal apa yang disampaikan oleh Amit Wirmani itu ada sisi kebenarannya. Paling tidak di soal seputar prostitusi yang ada korelasinya dengan kemiskinan.

Saat kemiskinan melilit kehidupan dan prostitusi dianggap bukan sebagai sebuah kejahatan dan juga bukan sesuatu hal yang melanggar etika dan norma moral maupun hukum agama, maka jangan salahkan jika mereka pun kemudian menjadikan prostitusi sebagai jalan keluar dari kemiskinan yang melilitnya.

Jangan salahkan pula si bocah umur 12 tahun yang ditemui Amit itu jika ia kemudian menjadi bercita-cita ingin menjadi seperti para pendahulunya. Dimana menurut persepsinya, para pendahulunya itu telah berhasil melakukan transformasi vertikal dalam kehidupan sosial ekonominya berkat prostitusi.

Akhirulkalam, tak ada salahnya memang jika kita kemudian berusaha melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasikan efek dan dampak negatif dari kemunculan film dokumenter ini terhadap citra pariwisata Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Namun, disamping itu perlulah juga kita mulai menelisik. Jangan-jangan dunia pariwisata di Indonesia memang sudah mulai berubah corak menjadi sangat kapitalistik, sehingga berkahnya tak lagi menetes kepada mereka-mereka yang jelata dan termarjinalkan.

Suatu keadaan dimana kapital sudah mendominasi industri pariwisata, maka berkah dari industri pariwisata hanya tinggal menyisakan remah-remah peluang di bidang prostitusi saja bagi mereka.

Semoga tidak begitu kenyataan yang terjadi di dunia pariwisata Indonesia.

Wallahulambishshawab.

*

Catatan Kaki :

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline