Kondom pada awalnya dimaksudkan sebagai salah satu alat kontrasepsi untuk tujuan menghalangi terjadinya pertemuan antara sperma dengan sel telur pada saat coitus sehingga tidak terjadi pembuahan.
Penggunaan kondom sudah lama dikenal oleh manusia. Konon di Mesir, berdasarkan lukisan kuno, kondom ini sudah ada sejak 3.000 tahun silam.
Juga menurut cerita, sarung penis ini sudah dikenal di Jepang sejak tahun 1.500-an. Begitu pun menurut di legenda Ynani sudah di kenal istilah kandung kemih kambing digunakan sebagai alat untuk tujuan protektif pada saat melakukan senggama.
Saat sekarang, kondom telah mengalami pergeseran juga perluasan dari maksud dan fungsi serta tujuan penggunaannya. Kondom oleh beberapa kalangan ahli medis telah dipromosikan sebagai salah satu alat ampuh, agar tetap nyaman dan aman dalam melakukan praktek perilaku seks bebas.
Kondom, saat ini tak lagi diproduksi hanya untuk eksklusif pemakai pria saja, tapi juga mulai ada yang diproduksi untuk pemakai wanita.Produksi pun telah dilakukan secara massal, dan pengguna kondom juga telah meningkat dengan pesat.
Berkaitan dengan cerita soal kondom ini, ada satu cerita menarik yang berhubungan dengan Republik Rakyat China.
Raksasa baru ekonomi dunia ini, dalam kaitan dengan kondom ini, telah dengan cerdik menggabungkan antara kreativitas inovasi produk dengan kelebihan jumlah populasinya sebagai salah satu modal tak tersaingi, untuk mendukung keunggulan komparatif bagi produk industrinya.
Konon menurut kabar, industri barang pernak-pernik di RRC ini telah memanfaatkan kondom bekas pakai sebagai bahan bakunya. Kondom bekas pakai ini, diolah kembali selanjtnya diproduksi menjadi berbagai barang pernak pernik yang salah satu misalnya adalah pengikat rambut wanita.
Kondom bekas pakai ini dibersihkan, selanjutnya ada yang di potong-potong secara melintang untuk menghasilkan karet gelang yang kemudian dipasarkan sebagai karet kunciran pengikat rambut wanita.
Selainnya itu, sebagian dimanfaatkan sebagai karet pelentur yang digabngkan dengan sisa-sisa kain perca, untuk menghasilkan produk pengikat rambut wanita berbahan kain dengan beraneka bentuk yang menarik.
Hasilnya menjadikan harga jual produk pengikat rambut wanita hasil produksi mereka menjadi sangat murah, yang terkadang menjadi seperti tidak masuk akal. Dimana jika dihitung-hitung, harga jualnya itu tak sebanding dengan harga bahan bakunya secara harga normal.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas. Sesungguhnya ada sisi yang dapat diambil sebagai pelajaran berharga bagi Indonesia. Paling tidak ada beberapa hal yang patut direnungkan, diantaranya adalah :
Pertama, inovasi dan kreativitas dalam memanfaatkan barang-barang yang dianggap sebagai limbah untuk bahan baku industrinya.
Lantaran barang limbah, maka boleh dibilang harganya sudah tidak ada lagi. Boleh dibilang, secara sederhananya, hanya ongkos memulungnya saja yang dihitung sebagai harga bahan baku tersebut.
Kedua, pemanfaatan keunggulan yang dimilikinya, dalam hal ini adalah jumlah populasi penduduknya.
Mungkin tingkat pemakaian kondom per kapita di RRC lebih rendah dibandingkan negara-negara di Eropa atau Amerika, namun karena jumlah penduduknya yang luar biasa banyak, maka secara total nasional tentu menghasilkan jumlah yang banyak.
Anggaplah, di RRC hanya satu dari sepuluh penduduknya yang memakai kondom, sedangkan salah satu negara di Eropa tingkat pemakaian kondomnya mencapai enam dari sepuluh penduduknya. Tetap saja RRC lebih banyak jumlah akhirnya, karena jika sepuluh prosen dikalikan satu milyar penduduk berarti sama dengan seratus juta. Sedangkan enam puluh prosen dikalikan lima puluh juta penduduk hanya menghasilkan tiga puluh juta saja.
Ketiga, kejelian dan kemauan dalam memanfaatan sumber bahan baku dan sumber daya nasionalnya secara semaksimal mungkin untuk mendukung kepentingan industri dalam negerinya.
Sumber bahan baku yang melimpah tadi dipakai seluruhnya oleh industri dalam negeri RRC. Sampai saat ini, belum ada kabar bahwa pemerintah RRC mempunyai kebijakan yang mendorong peningkatan keran ekspor kondom bekas pakai dalam wujud aslinya.
Justru yang terjadi, pasar Indonesia dan pasar negara-negara lainnya yang dibanjiri oleh produk pengikat rambut produksi RRC dengan harga jual yang nyaris tak masuk akal.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita diatas, timbul rasa was-was dan khawatir jika hal berkebalikannya malahan yang terjadi di Indonesia.
Walau tak serupa namun bisa jadi ada kaitan logikanya. Salah satu contohnya, jika rotan mentah dari Indonesia di ekspor keluar. Lalu hasilnya pasar dunia di bidang mebel dan furniture dibanjiri oleh produk dari negara lain yang diolah dari rotan mentahnya Indonesia.
Kain perca dari sisa industri konveksi maupun industri tekstil di ekspor ke RRC. Selanjutnya, pasar domestik Indonesia dibanjiri dengan produk sapu tangan, kaos tangan, kaos kaki, pengikat rambut wanita dari bahan kain, yang bisa jadi bahan bakunya adalah kain perca dari Indonesia.
Minyak mentah dan batu bara di ekspor untuk menghasilkan devisa yang besar bagi cadangan devisa negara. Di sisi lain, harga energi yang dihasilkan oleh minyak mentah dan batu bara untuk industri dalam negeri Indonesia menjadi sama harganya dengan industri di negara yang tak mempunyai sumber bahan baku minyakmentah dan batu bara.
Akhirulkalam, semoga celotehan yang dicoretkan tersebut diatas itu, yang timbul dari rasa was-was dan kekhawatiran dari orang awam yang bukan pakar ekonomi bergelar doktor atau phd ini, adalah tidak benar dan memang tidak terjadi serta tidak akan pernah terjadi di Indonesia.
Wallahualambishshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H