Lihat ke Halaman Asli

Presiden Malioboro

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“tidak peduli segala gelar, HIDUP adalah PUISI”

Dia adalah Umbu Landu Paranggi—penyair yang bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi, masih terhitung sebagai cucu salah seorang raja Sumba. Dia dilahirkan di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1945. Di daerah yang dikenal dengan kuda dan kayu cendananya ini, Umbu adalah sebutan nama depan untuk anak lelaki dan Rambu nama depan untuk wanita, khusus yang berdarah ningrat. Meski lahir di Sumba, Umbu selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahiran keduanya. “Yogya pernah membuat saya jatuh hati, rata dengan tanah,” ujarnya.

Lulus SMP, Umbu merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di Taman Siswa, karena terkesan dengan model pengajaran Ki Hajar Dewantara. Tapi sayangnya, dia terlambat mendaftar. Akhirnya, dia sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Pada masa-masa SMA itulah “racun” puisi menjalari jiwanya, dan seringkali menelantarkan pelajaran lainnya. Saat itu pula dia menemukan seorang guru yang memengaruhi jalan hidupnya, Ibu Lasiah Sutanto, guru Bahasa Inggris, yang kemudian menjadi Menteri Peranan Wanita Pertama Republik Indonesia.

Setiap kali ada pelajaran Bahasa Inggris, Umbu diam-diam menulis puisi. Umbu pun sering ditegur karena dianggap mengganggu proses belajar mengajar. Karena jengkel dengan ulah Umbu, kawan-kawannya mendesak Ibu Lasiah agar menghukumnya dengan cara membaca puisi di depan kelas. Ibu guru yang bijak itu tidak menghukum Umbu, melainkan menyarankan Umbu agar mengirimkan puisi-puisinya ke koran. Dan jika dimuat, teman-teman kelasnya wajib mengritik puisi-puisinya. Ibu Lasiah kemudian menahan puisi-puisi Umbu di laci mejanya, namun diam-diam membacanya, mungkin penasaran dengan apa yang ditulis Umbu. Sejak itu, Umbu makin rajin menulis puisi dan mengirimkannya ke koran.

“Saat itu saya berpikir Ibu Lasiah menyukai puisi-puisi saya. Itu yang membuat saya tambah semangat menulis puisi. Semestinya saya pantas dihukum karena sudah beberapa kali melanggar aturan kelas,” kenangnya.

Setamat SMA, ibunya menyarankan Umbu melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan. Tapi dia menolak dengan alasan lemah dalam pelajaran Ilmu Alam. Dia kemudian mengambil jurusan Ilmu Sosiatri di Fisipol UGM dan Sosiologi di Universitas Janabadra, namun tak satu pun yang diselesaikannya. (Wayan Sunarta, Jurnal Bali, November 2010)

Selama bermukim di Yogyakarta (1959-1978), Umbu memainkan peran penting dalam pertumbuhan sastra di daerah itu ketika menjadi redaktur sastra pada mingguan “Pelopor” Yogya (1966-1975). Selain mendorong publikasi karya-karya penyair dan penulis pemula di ruang “Persada” pada mingguan tersebut, Umbu bersama tujuh orang temannya antara lain Iman Budi Santoso, Teguh Ranusastra Asmara dan Ragil Suwarna Pragolapati (penyair kelahiran Pati yang konon 'hilang' di Gua Langse, pantai Laut Selatan) juga mendirikan kelompok apresiasi sastra Persada Studi Klub (1969). Sementara setelah hijrah ke Bali, Umbu juga melakukan hal yang sama dengan menjadi redaktur ruang “Apresiasi”, halaman khusus sastra di harian Bali Post edisi Minggu yang terbit di Denpasar serta dengan memperkenalkan kegiatan apresiasi sastra keliling daerah dan sekolah, Umbu juga mendorong tumbuhnya bibit-bibit penyair dan sastrawan muda di daerah ini.

Menurutnya, di Pulau Dewata—ia sudah menemukan rahasia bertahan manusia. Lelaki nyentrik yang selalu bertopi dan dikenal sebagai guru dari banyak penyair ini menyebut seluruh semesta raya Bali ada dalam lontar-lontar yang ditulis para pujangga pada masa lalu. ”Lontar itu menyangkut keimanan, sebuah simpul saraf manusia Bali,” katanya (Kompas, 28 November 2009).

Penyair ini selain dikenal nyentrik, misterius dan jarang mau tampil di muka umum, namun muridnya banyak yang berhasil, seperti budayawan Emha Ainun Najib, mendiang Linus Suryadi AG—penyair, dan penyanyi Ebiet G Ade. Berikut ini sajak-sajaknya yang dikutif dari berbagai sumber:

Ibunda Tercinta

Perempuan tua itu senantiasa bernama:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline