Lihat ke Halaman Asli

Bobi Anwar Maarif

Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia

Kisruh Biaya Penempatan Pekerja Migran, Kenapa?

Diperbarui: 13 Maret 2021   06:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halaman depan erban No 9/2020 | Sumber JDIH BP2MI

Kebijakan pembebasan biaya penempatan menuai kontroversial. Terutama ketika Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menerbitkan Peraturan BP2MI No. 9 tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI, pada 14 Juli 2020.

Di satu sisi, kebijakan ini tentu disambut gegap gempita oleh seluruh PMI, terutama mereka yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di sejumlah negara tujuan seperti Malaysia, Singpura, Taiwan dan Hong Kong.  Selama ini mereka dibebani biaya mahal, sehingga harus utang dan bayarnya dicicil melalui potongan gaji yang bervariasi dari 3 sampai 9 bulan. Beban bayarnya jadi lebih tinggi lagi karena ada praktik jual beli surat utang yang dilakukan oleh P3MI kepada lembaga pembiayaan di luar negeri dan pengenaan jasa agen diatas ketentuan pemerintah setempat. Pada kasus biaya penempatan PMI Formal ke Taiwan, mereka dibebani lagi dengan biaya beli job yang besarannya sampai Rp 50 juta. 

Di sisi lain, kebijakan pembebasan biaya penempatan ini menuai protes. Seperti yang dilakukan oleh asosiasi perekrut calon PMI dan asosiasi majikan di Taiwan. Bagi asosiasi majikan, kebijakan membebaskan biaya penempatan kepada PMI akan berdampak pada semakin mahalnya beban biaya yang akan ditanggungnya. Protes asosiasi majikan kemudian direspon oleh otoritas Taiwan yang sempat menghentikan penempatan PMI. Sisi lainnya lagi, ada persoalan komunikasi yang buruk dengan negara tujuan. 

Pada Januari 2021, pemberitaan tentang Perban Pembebasan Biaya Penempatan menjadi heboh lagi setelah diumumkannya penundaan. Awalnya Perban ini akan berlaku aktif pada 15 Januari 2021, kemudian ditunda sampai 15 Juli 2021. 

Ada masalah apa dengan Perban Pembebasan Biaya Penempatan PMI ini, sehingga terjadi gejolak?  Seperti apa model biaya penempatan sebelumnya? Jika diteruskan ada banyak tanda tanya.

Jika disederhanakan, ada tiga model biaya penempatan PMI.

Pertama: biaya Penempatan ditanggung oleh PMI;

Contoh biaya penempatan yang ditanggung sendiri oleh PMI adalah program Goverment to Goverment ke Korea Selatan. Biaya resminya sekitar Rp 8.706.000. Adapun komponen biayanya adalah: 1). Ujian 24 USD, 2). Pemeriksaan Kesehatan Rp. 800.000, 3). Visa Rp 864.000, 4). BPJS Ketenagakerjaan 532.000, 5). Prelim jika di Jakarta 320.000, 6). Tiket Pesawat dan Handling 5.850.000. Komponen biaya penempatan tersebut ditanggung semua oleh calon PMI. 

Kedua, biaya penempatan ditanggung oleh majikan sebagai pemberi kerja;

Contoh model kedua ini yaitu biaya penempatan PMI yang bekerja sebagai PRT di hampir semua negara Timur Tengah. Seluruh komponen biaya penempatannya ditanggung oleh calon majikan sebagai pemberi kerja. Bahkan calon majikan berani membayar biaya penempatan yang lebih besar sampai ratusan juta, ketika Menteri Keteagakerjaan melarang penempatan ke 19 negara Timur Tengah. Ini yang kemudian mengakibatkan praktik penempatan PMI secara unprosedur tidak terbendung. 

Model biaya penempatan seperti ini satu sisi baik, semua biaya ditanggung calon majikan, tetapi juga ada tidak baiknya. Calon majikan menganggap telah membeli, sehingga PMI diperlakukan secara sewenang-wenang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline