Kasus yang melibatkan Anas Urbaningrum semakin hari, serasa semakin membingungkan. Publik dibuat benar-benar bertanya, apakah murni kasus hukum atau murni politik? Kasus hukum yang dibawa ke ranah politik atau intrik-intrik politik yang dibawa ke ranah hukum? Ini masih menjadi pertanyaan besar.
Tapi bila dilihat dari rekam jejak kasus yang melibatkan Anas, sangat sulit mempercayai bahwa itu murni kasus hukum. Rekam jejak hukum yang selalu diiringi dengan peristiwa politik yang terjadi di Partai Demokrat dimana Anas pernah menjadi Ketua Umumnya.
Singkat saya rekontruksi rekam jejak Anas di Partai Demokrat, dari mulai bergabung hingga kewenangannya dicabut Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bergabung ke Partai Demokrat
Soal ini sudah sempat saya bahas pada tulisan sebelumnya “Mengulas Kecintaan SBY Kepada Anas,” bisa dibaca untuk lebih jelasnya. Sebab ini berkaitan dengan rekontruksi awal rekam jejak Anas yang dikatakan berbagai pihak sebagai awal konflik SBY dan Anas.
Selain sikap Anas yang dianggap membangkang oleh sebagian orang-orang yang sangat loyal kepada SBY, karena ketidakpatuhan Anas atas permintaan SBY agar mundur dari pencalonannya sebagai ketua umum dan mengambil tawaran posisi sebagai sekretaris jenderal. Anas justru ingin mengajarkan budaya demokrasi kepada kader-kader Partai Demokrat, dan saya saksikan Anas berhasil namun sekaligus dibenci. Kasarnya, tidak boleh ada dua matahari di Partai Demokrat.
Kubu-kubu atau faksi-faksi sangat terlihat jelas di mata public, dan konflik-konfliknya pun dipertontonkan ke publik tanpa rasa malu meski dikesankan seperti adu jotos anak TK. Usaha Anas mengokohkan konstitusi partai tentu tak dapat berjalan mulus. Justru usahanya mendekatkan diri ke elemen partai terbawah atau istilah kepartaiannya disebut akar rumput, disebut sebagai upaya mengumpulkan kekuatan untuk menghapus kekuasaan SBY di Partai Demokrat.
Sayang, bila SBY mendengarkan laporan-laporan itu dari orang-orangnya yang notabene sangat benci dengan Anas dan memang berupaya melumpuhkan Anas yang sudah sangat menonjol. Hal ini juga dapat diasumsikan menjadi faktor bertambahnya kebencian SBY terhadap Anas.
Penabalan Status Tersangka Kepada Anas
Mari kita runut, dimulai dari pernyataan Ruhut Sitompul yang sudah sangat yakin Anas menjadi tersangka.
Tanggal 28 Januari 2013, dari Gedung DPR, Ruhut Sitompul mengatakan, “Sekarang polling kami sekitar 8 persen. Mungkin minggu ini atau depan (Anas) sudah jadi tersangka, seharusnya Anas sudah menjadi tersangka saat bertugas di KPU. Anas keburu masuk Partai Demokrat”.
Benarkah apa yang dikatakan Ruhut? Kesan dari pernyataan Ruhut saat itu sangat jelas, bahwa Partai Demokrat dapat mengendalikan hukum. Terlepas itu apakah benar atau tidak.
Tanggal 3 Februari 2013, Siang, SMRC mengeluarkan rilis hasil survei turunnya suara Partai Demokrat. Partai Demokrat yang merajai Pemilu 2009 dalam survei ini tergambar mengalami jatuh bebas. Suara responden hanya 8,3 persen.
Hasil survei tersebut bisa sama dengan apa yang dikatakan Ruhut Sitompul beberapa hari sebelumnya, sehingga ini memunculkan asumsi yang keras pasca penetapan Anas sebagai tersangka, bahwa survei ini pesanan. Pesanan sebagai rangkaian untuk melemahkan posisi Anas dari hati kader, sehingga cukup alasan untuk mengambil alih wewenang Anas.
Malam harinya, dari kediaman pribadinya, Jero Wacik minta SBY selamatkan Partai Demokrat, “setelah melakukan analisa atas penurunan elektabilitas Partai Demokrat, penyebab utamanya dipicu karena terdapat kader Partai Demokrat yang melakukan tindak pidana korupsi seperti Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Dan yang juga menjadi bulan-bulanan pers, adalah Ketum kami, pak Anas yang diberitakan begitu rupa, antara terlibat dan tidak, begitu hebohnya, saya tidak tahu, proses di KPK bagaimana? Kami dengar sudah ada bukti, katanya akan jadi tersangka,”
Disini Jero Wacik menggunakan senjata survei untuk semakin memperjelas penyebab merosotnya suara Partai Demokrat, Anas semakin dilemahkan. Dan anehnya, darimana Jero Wacik tau kalau Anas akan jadi tersangka? Apakah memang benar, Partai Demokrat dapat mengendalikan hukum? Asumsi ini saya tarik kebelakang, berdasarkan pernyataan Ruhut sebelumnya.
Tanggal 5 Februari 2013, dari Hotel Hilton, Jeddah SBY menyambut bola dari Jero Wacik, ” Sejak 2004 hingga sekarang, ini adalah angka terendah untuk Partai Demokrat. Ini memberikan keprihatinan dan kecemasan yang mendalam bagi jajaran Partai Demokrat di seluruh Tanah Air. Saya mohon kepada KPK untuk, ya, bisa segera konklusif dan tuntas. Jika salah, ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kami juga ingin tahu kalau itu tidak terlibat, termasuk Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang diperiksa dan dicitrakan secara luas di
Tanah Air sebagai bersalah atau terlibat dalam korupsi ini, meskipun KPK belum menentukan hasil pemeriksaan.”
Pernyataan fenomenal “From Jeddah for KPK” ini mendapat kritikan tajam dari tokoh-tokoh politik tanah air sebagai bentuk intervensi SBY kepada KPK. Dalam pernyataannya tersebut, jelas ada kata perintah untuk KPK memperjelas status Anas. Lagi-lagi menjadikan survei sebagai senjata dan lagi-lagi menunjukkan bahwa SBY bisa memerintah KPK.
Tanggal 7 Februari 2013, dari Cikeas, Syarief Hasan pun mengaku sudah tahu Anas jadi tersangka. “Kenapa, kita sudah dengar (status tersangkanya), tapi kita tunggu yang resmi saja,”
Tanggal 8 Februari 2013, SBY panggil anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ke Cikeas untuk membahas langkah-langkah penyelamatan Partai Demokrat. Ketika itu, desakan mundur kepada Anas pun menguat. Hingga akhirnya SBY menjelang tengah malam menonaktifkan Anas sebagai ketua umum. “Kepada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang tetap menjadi Wakil Ketua Majelis Tinggi, sementara saya memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan, dan penertiban, saya berikan kesempatan untuk lebih memfokuskan diri pada upaya dugaan masalah hukum yang ditangani KPK, dengan harapan keadilan benar-benar tegak,”
Bersamaan dengan rapat Majelis Tinggi di Cikeas, Abraham Samad di media memberikan signal bahwa sprindik Anas sudah dipersiapkan.
Tanggal 9 Februari 2013, pagi hari setelah Anas dinonaktifkan sebagai Ketua Umum dan setelah Abraham Samad memberikan signal soal sprindik Anas, bocorlah lembaran draft sprindik Anas ke public yang belum lengkap ditandatangani oleh semua komisioner KPK. Kabarnya, sebelumnya ada terjadi beda pendapat diantara para komisioner soal penetapan status Anas.
Pembocoran tersebut terkesan memang dipaksakan, agar publik tahu sekaligus memaksa komisioner KPK lainnya ikut menandatangani agar tak mendapat cap sebagai pembela koruptor. Belakangan terungkap dibocorkan oleh Wiwin Suwandi, Sekretaris Abraham Samad. Wiwin dipecat dan Abraham Samad yang terbukti bersalah atas pembocoran itu tak diberikan sanksi.
Asumsi yang muncul, Abraham Samad sedang mengikuti permainan dan skenario yang sedang dimainkan oleh loyalis-loyalis SBY. Pembocoran sprindik disebut-sebut sebagai alasan percepatan penetapan status Anas sebagai tersangka.
Tanggal 13 Februari 2013, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengatakan gratifikasi mobil mewah Toyota Harrier yang didapat Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, telah memenuhi unsure pidana. Namun, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menjelaskan, karena nilainya di bawah Rp 1 miliar, maka itu tidak masuk kewenangan KPK dalam menanganinya. Mengingat, kasus korupsi yang ditangani KPK harus di atas Rp 1 miliar, kecuali kasus tangkap tangan.
Tapi meski Adnan mengatakan demikian, yang kita tahu berikutnya bahwa Anas tetap disangkakan atas pasal gratifikasi penerimaan mobil Toyota Harrier. Ini jelas terkesan dipaksakan, Anas harus jadi tersangka apa pun caranya.
Tanggal 22 Februari 2013, menjelang berakhirnyan batas waktu pendaftaran DCT ke KPU, KPK menetapkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka, berdasarkan dari hasil gelar perkara yang dilakukan beberapa kali termasuk hari ini dalam kaitan degan proses penyelidikan terkait dugaan penerimaan atau janji berkaitan dengan proses perencanaan pelaksnaan pembangunan sport center Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya, KPK telah menetapkan saudara AU sebagai tersangka. Anas ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai mantan anggota DPR. KPK menyangkakan Anas dengan pasal 12 huruf a atau huruf b dan atau pasal 11 Undang-undang No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tanggal 23 Februari 2013, Anas berhenti dari Partai Demokrat sesuai Pakta Integritas yang telah ditandatanganinya.
Sebelas bulan Anas menyandang gelar sebagai tersangka tanpa dilakukan penahanan dan juga tanpa pemeriksaan sebagai tersangka oleh penyidik KPK. Bahkan Ketua KPK Abraham Samad terus mengeluarkan pernyataan-pernyataan berbunyi janji tapi palsu soal akan segera menahan Anas. Pernyataan konyol terakhirnya adalah penjara KPK lagi penuh.
Tanggal 10 Januari 2013, atau 10-01 bila digabungkan menjadi 1001, jadi ingat dongeng 1001 malam. Kini Anas tubuhnya telah terpenjara. Tetap diiringi dengan peristiwa politik.
Kita semua tahu Pemilihan Umum Legislatif 2014 akan berlangsung tanggal 9 April 2014, meski masih digugat oleh Yusril Ihza Mahendra. Asumsi politiknya, Anas akan ditahan maksimal selama 120 hari untuk akhirnya disidangkan.
Jika dihitung-hitung, Anas akan disidangkan pasca Pileg 2014. Anas harus dibungkam, tidak boleh bicara agar tidak mengganggu suara Partai Demokrat di Pileg. Bahkan Ruhut Sitompul pun menguatkan asumsi ini, kata Ruhut Anas baru akan disidangkan setelah selesai Pileg.
Disinilah profesionalisme KPK diuji, setidaknya KPK sudah punya waktu 11 bulan untuk mengumpulkan keterangan saksi guna melengkapi berkas. Untuk saksi kasus Anas, KPK sudah memeriksa saksi setidaknya 120-an orang dan bila ditotal keseluruhan dalam kasus Hambalang jumlah saksinya sudah 240-an orang. Jumlah ini record baru dalam penanganan kasus. Mencoba rekayasakah?
Harusnya sudah tidak terlalu sulit lagi bagi penyidik untuk melengkapi berkas kasus Anas, apalagi Abraham Samad sudah mengeluarkan pernyataan yakin 1000 persen berkas Anas sudah matang.
Untuk menepis bahwa KPK yang diwakili Abraham Samad sebagai ketuanya setali tiga uang dengan penguasa, KPK harus bisa buktikan bahwa pernyataan Ruhut bahwa Anas akan disidangkan pasca Pileg itu salah. Melihat dari waktu yang cukup panjang dengan banyaknya jumlah saksi, setidaknya KPK sudah bisa membawa Anas kepersidangan pada bulan Maret.
Itu juga sekaligus menepis tudingan bahwa kasus hukum Anas dibawa ke ranah politik dan tidak murni kasus hukum. Hanya KPK lah yang dapat meluruskannya. Salam!
@bobbytriadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H