Lihat ke Halaman Asli

Adiguna Satryo Wibowo

Full-Stack Dev/CEH - CompTIA PenTest+

Implikasi dan Dampak Konvergensi Media dalam Konteks Perang Asimetris

Diperbarui: 20 Agustus 2023   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Pribadi di edit dengan Canva

Di era digital yang terus berkembang, konvergensi media merupakan fenomena yang signifikan dalam dunia komunikasi dan informasi. Hal ini mengacu pada kesatuan integrasi dan interaksi antara teknologi, platform dan konten media.

Mengutip dari buku Cyber Society: Teknologi, Media Baru, dan Disrupsi Informasi (2020) karya Catur Nugroho, konvergensi media adalah integrasi media lewat digitalisasi yang dilakukan oleh industri media.

Konvergensi media dilakukan untuk menghasilkan serta menerbitkan berbagai konten media melalui alat dan infrastruktur teknologi, untuk dimanfaatkan oleh audiensi yang beragam.

Hal ini memungkinkan berbagai bentuk media seperti teks, suara, gambar, dan video dapat disampaikan melalui satu platform atau perangkat saja.

Contoh dari konvergensi media adalah perangkat pintar seperti smartphone dan tablet. Dimana perangkat ini menggabungkan fungsi telepon, kamera, pemutar musik, dan akses internet menjadi satu.

Selain itu, platform seperti YouTube, Tiktok dan masih banyak lainnya juga merupakan contoh konvergensi media. Dimana pengguna dapat mengakses berbagai jenis video, film dan acara TV melalui satu platform.

Dampak yang ditimbulkan Konvergensi Media sebagai Peranti Perang Asimetris.

Seperti yang kita ketahui. Perang asimetris adalah konsep yang digunakan dalam konteks keamanan informasi untuk menggambarkan situasi di mana pihak yang terlibat dalam konflik memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak seimbang. Dalam perang asimetris, pihak yang lebih lemah menggunakan strategi dan taktik yang berbeda untuk mengimbangi kekuatan pihak yang lebih kuat.

Apalagi jika perang asimetris dikaitkan dengan media dan relasi kuasa. Pemegang kekuasaan ekonomi dan politik, baik pemerintah atau organisasi bisnis, akan menggunakan media, bukan hanya untuk propaganda keberhasilan semata, tetapi lebih dari itu untuk mematikan lawan atau kompetitornya, seperti disebut oleh Lynda Lee Kaid dalam "Ethics and Political Advertising" (Denton 2000).

Kritik Fuchs (2013) menyadarkan kita bahwa dibalik hingar bingar teknologi internet dan sosial media, ada rezim ideologis besar yang ingin menguasai. Sebagian orang menyebut rezim itu sebagai kapitalisme global, sebagian menyebut sebagai demokrasi liberal. Manusia, selama sejarahnya, adalah korban dan komoditas dari penguasa. Tak terkecuali di Indonesia. Kita bisa lihat perkembangan dunia digital mulai memakan 'korban' dengan munculnya hoax, kasus-kasus cyber-crime, hingga keruntuhan korporasi retail dan ancaman hilangnya berbagai profesi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline