"Pancasila. Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"
Sejak kita kecil, kita sudah hafal di luar kepala sila-sila paramarta Pancasila. Sila kelima yakni "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" tentu sudah meresap dalam memori.
Menjadi masalah ketika sila keadilan sosial itu tidak menemukan perwujudannya dalam sejumlah kebijakan negara. Terbaru, Â pemerintah bermaksud mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako.Â
Rencana ini tertulis dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Draf RUU KUP menyebutkan, sembako tak lagi termasuk dalam obyek yang PPN-nya dikecualikan.
Argumentasi pemerintah problematis
Pemerintah tentu mengharapkan adanya pendapatan negara dari pajak-pajak baru demi menggerakkan roda pemerintahan di tengah pandemi Covid-19 ini. Ini bisa kita pahami. Masalahnya, mengapa menarik pajak untuk barang konsumsi pokok rakyat kecil?Â
Stafsus Menteri Ekonomi, Yustinus Prastowo mengakui bahwa pajak sembako memang akan diterapkan dengan tetap memperhatikan keadilan. Sayangnya, penjelasan di Twitter tersebut masih samar-samar.Â
Tak begitu jelas bagaimana bisa membedakan pajak sembako "untuk orang kaya" dan "untuk rakyat jelata" secara adil. Apakah sembako premium berharga sultan yang akan kena pajak lebih tinggi?Â
Jika pun sembako kualitas prima yang dikenai pajak, bukankan orang kaya pun bisa beralih membeli sembako dengan harga biasa? Mirip milyuner yang punya mobil mewah, namun memilih membeli bahan bakar bersubsidi pemerintah?
Yustinus menulis, penerimaan negara dari pajak-pajak baru termasuk pajak sembako nantinya akan mendukung program subsidi bansos dan subsidi untuk rakyat kecil. Masalahnya, seberapa tepat sasarankah program subsidi dan bansos selama ini?
Tak perlu riset rinci, di media massa dan media sosial tersua banyak keluhan subsidi dan bansos salah sasaran dan disalahgunakan. Yang kaya malah menerima. Yang miskin malah tak ikut didata.Â