Raung suara ambulans tak lagi membuat hatiku cemas. Setelah dua minggu mendampingi suamiku tercinta, aku telah terbiasa dengan hiruk pikuk dan aroma khas rumah sakit di pinggiran ibu kota itu.
Pagi itu wajah suamiku masih kuyu. Tak banyak perubahan setelah ia jatuh pingsan sehabis mandi sore dua minggu lalu. Usia kepala enam dan komplikasi aneka penyakit membawa suamiku tercinta kini hanya berbaring lemah tanpa daya. Ia belum juga siuman.
Aku usap lembut pipinya. "Pa, kita doa pagi dulu ya. Aku tahu, Papa bisa dengar suaraku."
Aku lantas berdoa, "Tuhan, kasihanilah kami. Terima kasih atas hari baru yang Engkau anugerahkan pada kami. Sembuhkanlah suamiku, ya Tuhan. Berkatilah semua dokter dan perawat yang setia mengusahakan kesembuhannya. Amin."
Demikianlah doa pagiku untuk suamiku tercinta. Singkat dan bersahaja, namun selalu basah dengan air mata.Â
**
"Ibu Eliza, selamat pagi." Sapaan lembut itu sedikit mengejutkanku. Rupanya, suara dokter Santi.
"Dok, tumben pagi-pagi sudah tiba. Ada apa?" tanyaku.
"Maaf ya, Bu Eliza, saya sengaja datang lebih pagi untuk membuktikan sesuatu," jawab sang dokter.
"Membuktikan apa, Dok?" selidikku.
"Membuktikan perkataan para perawat tentang Ibu. Kata mereka, Bu Eliza sangat sayang pada suami. Tekun mengajak berdoa bersama di pagi dan malam hari. Ternyata benar. Tadi saya intip dari balik kaca."