Perbedaan budaya dan bahasa bisa jadi penyebab kesalahpahaman, tetapi juga kelucuan. Jadi runyam dan bikin makin berselera makan ketika kesalahpahaman terjadi di meja makan. Ini dia dua kisah "komedi meja makan" yang diangkat dari kisah nyata.Â
Kisah pertama: Jawa
Sekelompok mahasiswa dari luar Jawa, tepatnya dari kawasan Indonesia Timur, mengadakan kuliah kerja nyata di sebuah desa di pinggiran Yogyakarta. Dari pusat kota Jogja berhati nyaman, mereka menuju lokasi KKN di "Desa Penari TikTok". Sebut saja begitu biar tak seram.
Perjalanan hampir empat jam memang melelahkan. Akan tetapi, keramahan penduduk desa membuat rasa letih berkurang. Apalagi, keluarga Pak Kades telah menyiapkan makan siang.
Kebetulan yang memasak adalah ibunda Pak Kades. Simbah Sum, sebut saja demikian. Karena masuk angkatan zaman baheula, Mbah Sum tidak lancar berbahasa Indonesia.Â
Sehari-hari, Mbah Sum lebih banyak menggunakan bahasa Jawa. Untungnya anaknya yang jadi kades sesekali mengajarinya kata-kata bahasa Indonesia.
Ketika menyambut tamu dari luar, Mbah Sum menggunakan bahasa gado-gado Jawa-Indonesia. Juga ketika menjamu kelompok KKN yang baru saja tiba di rumahnya.
Nasi beras merah, sayur daun ubi, dan ayam goreng serta aneka lauk sudah siap tersaji. Para mahasiswa malu-malu. Pak Kades segera mempersilakan tetamunya untuk mengambil hidangan.
"Mari, mas-mas dan mbak-mbak. Tidak usah menunggu saya. Ambil saja makanan," kata Pak Kades budiman yang namanya Pak Diman.
Mahasiswa dengan masih malu-malu mengambil juga makanan di meja secara prasmanan.Â
Mbah Sum mengamati bagaimana tamu-tamu muda itu mengambil makanan. Dia heran karena tidak ada seorang pun yang mengambil sayur daun ubi bikinannya.