Lihat ke Halaman Asli

Ruang Berbagi

TERVERIFIKASI

🌱

Ramadan, Pak Wahab, dan Gus Dur: Kesan Seorang Non-Muslim

Diperbarui: 25 April 2020   01:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KH Abdurrahman Wahid di Musyawarah Nasional Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Quomarul Huda, Mataram, NTB. Foto diambil pada November 1997 (KOMPAS/Eddy Hasby)

Sebagai seorang non-muslim yang dibesarkan dalam lingkungan bineka di Indonesia, saya beruntung dapat mencecap indahnya bulan Ramadan bagi saudara-saudari pemeluk agama Islam.

Puasa selama sebulan sembari berupaya menjalankan aktivitas harian bukan hal sederhana. Apalagi bagi mereka yang berpuasa dan tetap bekerja dengan lebih banyak menguras kekuatan fisik. Pula bagi mereka yang bekerja di ruang terbuka, bermandi terik mentari tropis. 

Sama sulitnya bagi mereka yang harus bekerja dalam situasi kantor atau tempat kerja yang penuh tekanan. Kesabaran diuji sampai batas agar tak marah ketika mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari atasan, rekan, dan pelanggan.

Puasa menjadi istimewa pula bagi saudara-saudariku pemeluk agama Islam yang sehari-hari berada atau bekerja di dalam lingkungan mayoritas non-muslim.

Ini yang dialami Pak Wahab Cahyono, almarhum guru kami di sebuah seminari ("pesantren" calon pastor Katolik) bertahun lampau. Saya pernah mengisahkannya di Kompasiana ini, namun selalu saja memori akan sang guru budiman selalu hadir tiap jelang Ramadan.

Pak Wahab, sang guru budiman

Almarhum Pak Wahab, sosok guru muslim budiman akan selalu terpahat di sanubari kami, para murid yang pernah beliau bina. Beliau mengajar geografi dengan gaya beliau yang ceria.

keceriaan kelas Pak Wahab-nikolausharbowo.wordpress.com

Suasana teduh kompleks persekolahan dan aroma buah pohon pala yang konon mengandung senyawa pengantar tidur membuat para siswa kadang tertidur di kelas. 

Nah, Pak Wahab punya dua cara unik untuk membangunkan siswanya yang ngantuk. 

Pertama, beliau meminta siswa yang mengantuk untuk maju. "Sini maju ke depan, saya minta tolong temani saya."

Kemudian, Pak Wahab akan mulai membentangkan kedua tangannya. "Nah, satelit penginderaan jauh itu beredar di luar angkasa. Terbang ke sana-sini mengelilingi bumi," ujar beliau sambil "menyentuhkan" tangan terentangnya ke tubuh siswa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline