Di tengah wabah korona, DPR yang kita pilih dalam Pemilu lalu telah membuat dua ironi. Kamus Besar Bahasa Indonesia V mendefinisikan ironi sebagai "kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir".
Masalahnya, dua ironi DPR kita bukan karena suratan takdir, namun lebih karena egoisme. Betapa tidak, di tengah wabah yang menghantam rakyat, DPR dua kali menunjukkan dua ironi yang sudah kelewatan.
Pertama, tes uji korona massal
Dikutip dari kompas.com, seluruh anggota DPR RI beserta anggota keluarganya direncanakan menjalani tes virus corona di Kalibata dan Ulujami. Ini adalah hasil rapat badan musyawarah DPR. Kebenaran simpulan rapat ini dikonfirmasi pada Sabtu (21/3/2020).
Meskipun tes uji korona ini adalah bagian dari paket asuransi yang didapatkan 575 anggota DPR, tak pelak hal ini menuai kontroversi di tengah sulitnya masyarakat mengakses tes korona.
Bahkan hingga datangnya tes kit korona, hingga kini presentase populasi rakyat yang telah menjalani tes penapisan korona sangat rendah. Penyebabnya, seperti banyak diulas media, pemerintah memprioritaskan tes bagi tenaga medis dan orang-orang terduga korona. Namun, yang tak banyak dibahas media adalah potensi bahwa tes kit korona untuk rakyat justru sebagian dipakai untuk menapis anggota DPR beserta keluarganya.Â
Masalahnya, definisi "keluarga DPR" itu sangat luas, tergantung kehendak anggota DPR sendiri. Kita tak pernah tahu, di belakang layar, sudah berapa ribu tes kit korona  di(salah)gunakan untuk menapis anggota parlemen dan pejabat tinggi lain beserta "keluarga mereka".
Kedua, pembahasan aneka RUU penting
Entah mengapa, tetiba para anggota DPR kita rajin membahas aneka RUU penting di tengah wabah. Salah satunya adalah draf RUU Ominbus Law Cipta Lapangan Kerja yang banyak disorot karena dinilai menguntungkan pengusaha, bukan pekerja.
Salah satu poin RUU ini adalah bahwa perusahaan tak bisa lagi dilaporkan oleh pekerja dengan delik pidana, namun hanya sanksi administratif saja.
Selain itu, direncanakan penghapusan cuti panjang bagi pekerja yang telah menjadi karyawan lebih dari 6 tahun. Cuti panjang akan diberikan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.