Tahun 2018 lalu, terbit buku pertama saya "Wanita-Wanita dalam Alkitab: 35 Kisah dan Renungan". Buku ini adalah hasil menulis selama kurang lebih tiga bulan. Dalam buku ini terbitan Kanisius ini, saya mengisahkan 35 wanita dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Baru sebagai teladan bagi orang Katolik.
Sebagai penulis pemula, saya sadar bahwa saya tak punya posisi tawar di hadapan penerbit manapun. Saya adalah anak baru dalam dunia kepengarangan buku rohani Katolik. Maka, kontrak yang disodorkan penerbit pun saya setujui. Royalti sekitar sepuluh persen dari harga buku.
Saya dengar, penulis yang sudah terkenal bisa menaikkan permintaan royalti kepada penerbit yang mengajukan kontrak. Besarnya bisa 15 persen lebih bagi penulis ternama.
Menanti Royalti
Pengalaman menarik sebagai penulis pemula adalah saat menanti turunnya royalti penjualan buku perdana. Selang enam bulan setelah buku beredar di toko buku dan situs daring penerbit, baru saya menerima laporan royalti.
Harga jual buku saya setebal 77 halaman itu adalah Rp 35 ribu pada awal masa penjualannya. Harga yang terjangkau, bukan? Seharga satu porsi makan siang di restoran menengah, kalau tak salah.
Bila harga jual buku Rp. 35 ribu maka sepuluh persennya adalah Rp. 3.500. Kenyataannya, dari sepuluh persen itu masih kena pajak hingga bersihnya saya terima Rp 2.975.
Senang sih menerima royalti buku pertama. Tapi, sedih juga karena melihat angkanya yang tak begitu banyak, tak sebanding dengan susah-payah menulis.
Nasib Penulis Buku di Indonesia
Saya sendiri bukan penulis profesional. Saya bayangkan, para penulis penuh waktu juga menerima royalti yang besarnya tak jauh-jauh amat dari kisaran 10-15 persen harga buku.
Pertanyaannya, bagaimana bisa menafkahi keluarga dengan penghasilan dari royalti buku saja? Berarti penulis di Indonesia harus menulis banyak buku laris agar bisa menjaga asap dapur tetap mengepul. Atau, "terpaksa" bekerja di bidang lain untuk menafkahi keluarga.