Lihat ke Halaman Asli

Ruang Berbagi

TERVERIFIKASI

🌱

Cari Dukungan Politik di Rumah Ibadah, Saleh atau Salah?

Diperbarui: 15 Februari 2019   04:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.rainbowtoken.com

Seorang rekan saya, pastor di Sulawesi berkisah di Facebooknya dengan gaya kocak tentang fenomena unik jelang Pemilu April nanti. Mendadak banyak caleg bertamu ke pastoran dan gereja parokinya. Tetiba mereka yang tadinya tak ia kenal jadi baiiiik sekaliiii...membawa oleh-oleh. Tentu saja teman saya senang sekali menerima oleh-oleh itu.

Suara umat Katolik memang mungkin sedikit. Toh begitu, yang sedikit itu seksi juga bagi para (calon) politisi, baik yang kristiani maupun yang bukan. "Sayangnya", sikap resmi Gereja Katolik adalah bahwa gereja tidak memberi dukungan resmi kelembagaan pada satu kandidat saja. 

Meski membawa amplop setebal bantal pun, tak mungkin caleg atau bahkan capres mendapat dukungan resmi kelembagaan dari Gereja Katolik. Meski caleg itu pengurus gereja selama berpuluh tahun, tak mungkin ia mendapat hak istimewa untuk didukung resmi sebagai "caleg favorit" oleh Gereja Katolik.

Di Keuskupan Agung Semarang dan juga keuskupan lain, Gereja Katolik secara resmi memberi edukasi politik bagi para caleg dan politisi Katolik. Biasanya diadakan pembekalan bagi caleg Katolik yang maju di Pemilu. Isinya tentang moralitas politik dalam perspektif Katolik.

Secara pribadi, masing-masing uskup, pastor, suster, bruder, dan umat awam menentukan sendiri pilihan politiknya berdasarkan hati nurani dan iman. Calon yang dipilih, idealnya, adalah calon yang visi, misi, dan rekam jejaknya terbilang baik dan berorientasi pada kebaikan bangsa.

Tak pernah saya mendengar, ada anjuran resmi memilih calon seiman (Katolik) dalam lingkup gereja kami. Sekali pun tidak pernah! Bagi kami, pemilu itu memilih pejabat pemerintahan yang mampu mengatur negara, bukan memilih orang tersaleh dalam agama tertentu, apalagi politisi yang harus seagama dan sealiran. Bukankah seharusnya demikian sebuah Pemilu yang cerdas bagi kita, warga Indonesia yang bhinneka ini? 

Soal keimanan, itu urusan pribadi tiap orang yang harus bertanggung-jawab pada Tuhan. Pemilu adalah soal memilih orang-orang yang tepat untuk membuat, mengeksekusi, dan mengevaluasi kebijakan publik untuk kebaikan negara Pancasila ini. Bahwa politisi harus seorang beriman, itu amanat undang-undang berdasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi soal ukuran kesalehan dan kedalaman iman, itu urusan privat antara tiap pribadi dengan Tuhan.

Dua ribu tahun lalu...
Apa yang terjadi di tempat ibadah kami jelang Pemilu 2019 bukan hal baru. Tempat ibadah dan doa selalu jadi "tempat menarik" untuk orang yang datang dengan berbagai kepentingan. Dua ribu tahun lalu, di Israel pada zaman Yesus berkarya, ada dua kelompok petinggi agama Yahudi yang hobi menampilkan kesalehan mereka di tempat ibadah. Dua kelompok ini adalah ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Ahli Taurat pandai membaca kitab-kitab suci berbahasa Ibrani. Pada zaman pengajaran dan penginjilan Yesus, ahli-ahli Taurat digambarkan suka memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan (Markus 12:38, 39)

Orang-orang Farisi itu siapa? Kata 'Farisi' berasal dari bahasa Ibrani "Perusyim' yang berarti "Yang Terasing". Orang Farisi adalah penganut murni agama Yahudi. Perhatian pokok mereka adalah menjalankan hukum Taurat secara rinci. 

Karena sikap yang "memisahkan diri' dari orang lain, akhirnya membuat mereka cenderung memandang rendah kelompok masyarakat yang bukan Farisi. Sikap orang Farisi ialah menganggap diri 'lebih suci', 'lebih benar' dan 'lebih berkenan di hadapan Tuhan' daripada orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline