Aku, Purna, seorang calon pastor Katolik dari tarekat Missionariorum a Sacra Famiglia (MSF). Hatiku gundah saat mengawali kegiatan live-in di komunitas Vihara Tanah Putih Semarang (16-18 November 2018). Vihara itu adalah pusat Sangha Theravada Jawa Tengah (tanahputih).
Apa yang harus aku katakan pada para bhikkhu nanti? Aku takut perkataan atau pertanyaanku menyinggung perasaan mereka. Mau tanya tentang apa, ya? Pengenalanku akan agama Buddha benar-benar minim. Benar kata orang, mulai berdialog agama dengan pemeluk agama lain itu sulit!
Waktu berlalu tanpa kompromi. Kecemasan-kecemasan liar bergentayangan dalam benakku. Ketakutanku semakin menjadi-jadi. Apa yang nantinya harus aku katakan selama tiga hari bersama para bhikkhu? Di tahap awal ini, aku prediksi dialog agama antara diriku dan para bhikkhu nanti akan gagal.
Apa yang aku takutkan perlahan-lahan kandas di hari pertama live-in. Itu terjadi saat bhikkhu pimpinan komunitas Vihara mengajakku bermeditasi. Saat berjumpa dengan orang yang berbeda keyakinan sepertiku, sang bhikkhu justru tidak mengajak berbicara mengenai doktrin keagamaan sebagai jalan dialog. Ia juga tidak mengajak berbicara mengenai segala perbedaan yang ada di antara kami. Ia memilih jalan keheningan.
Menjadi aneh bagiku bahwa berdialog justru dilakukan dengan bermeditasi. Sontak muncul pertanyaan dalam hatiku. Bagaimana mungkin kami bisa saling memahami bila tidak berbicara? Akan tetapi, kucoba hilangkan pertanyaan itu dan mulai mengikuti bimbingannya.
Sang Bhikkhu mulai mengajakku untuk mengosongkan pikiran dan menyadari keberadaan diri. "Tanggalkan semua masalah hidup yang sedang kamu pikirkan," katanya lembut. "Mari kita masuk ke dalam keheningan," ujarnya dengan nada suara penuh karisma.
Tiga puluh menit aku dan bhikkhu duduk bersama tanpa kata-kata. Meskipun demikian, segala ketakutan akan keharusan untuk berbicara dalam rangka dialog agama hilang tak berbekas dalam benakku. Yang ada hanyalah kesadaran diri bahwa saat itu aku sedang bermeditasi bersama dengan seorang bhikkhu dalam suasana damai yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
**
Dalam heningku, aku perlahan menyadari bahwa hening bukanlah tindakan menutup mata dan bersikap apatis terhadap yang lain. Hening adalah tindakan menyadari diri, menyadari kemanusiaan yang satu. Nilai kemanusiaan yang sama itu milik manusia. Kemanusiaan tidak pernah berbeda meskipun setiap manusia memiliki perbedaan sebagai suatu keniscayaan.
Bila perbedaan adalah suatu keniscayaan, penolakan terhadapnya menjadi suatu tindakan yang tidak logis. Justru menerima perbedaan semakin menunjukkan kualitas manusia. Dan, menerima perbedaan berarti hidup di dalam kedamaian.
Tanpa banyak kata-kata, aku dibimbing oleh sang Bhikkhu untuk masuk ke dalam persaudaraan manusiawi, tanpa sekat, tanpa batas, dan tanpa tuntutan rasio. Melalui meditasi bersama itu, aku temukan bahasa yang tepat untuk berdialog dengan umat beragama lain: bahasa keheningan.