Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Indonesia (Sekarang Tidak Lagi) Strategis Dalam Alur Maritim Dunia?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14149706221314029849


Dari bangku sekolah dulu, mulai dari mata pelajaran geografi hingga sejarah, kita telah belajar bahwa Indonesia berada di antara 2 benua (Asia dan Australia) dan 2 samudra, samudra India (yang pada jaman Bung Karno secara “sepihak” kita sebut sebagai samudra Indonesia) dan samudra Pasifik.

Keberadaan diantara 2 benua dan 2 samudra tersebut telah membuat kita percaya dan berkeyakinan bahwa Indonesia yang kita cintai ini berada pada posisi yang sangat strategis. Keyakinan yang sama sekali tidak salah dan didukung oleh fakta sejarah, karena jaman dahulu kala, Nusantara telah menjadi bagian dari jalur perdagangan dunia; dan itulah yang membuat negara-negara Eropa di abad pertengahan menjejakkan kakinya di Nusantara, menancapkan kuku kolonialisme-nya yang membuat rakyat Indonesia berdarah-darah selama 3 abad lebih hingga berakhirnya Perang Dunia ke-2.

Lalu kenapa, pada era globalisasi perdagangan dunia saat ini, Indonesia seolah-olah terpinggirkan, bukan lagi menjadi tempat strategis dimana kapal-kapal dagang besar dunia singgah untuk menaikkan atau menurunkan muatannya.

Mari kita mencoba mencari jawaban kenapa Indonesia telah kehilangan posisi strategisnya?

Sebagai seorang praktisi yang bergelut pada bidang transportasi laut selama hampir 2 dekade, saya akan mencoba membahas dari sudut pandang sektor maritim kenapa ini terjadi; dan tentu saja saya akan membiarkan para pakar lainnya memberikan jawaban dari sisi politik, ekonomi dan industri.

Sebagaimana air mengikuti alur sungai, jalur transportasi laut tentu saja harus mengikuti kemana dan bagaimana alur perdagangan dunia berjalan. Namun, apabila kita berbicara mengenai transportasi laut ini, sebagaimana tulisan saya terdahulu yang bisa dibaca di http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/10/24/tol-laut-jokowi-bagaimana-cara-meng-implementasikannya-682372.html ; kita tidak bisa menyamaratakan dan menggabungkan dalam satu angka statistik semua barang yang diperdagangkan melalui angkutan laut, karena setiap jenis barang memiliki karakteristiknya sendiri.

Sabagai contoh sederhana, data dari UNCTAD (United Nations Conference On Trade and Development) pada tahun 2010 jumlah minyak mentah yang dimuat adalah sebesar 1,762 juta ton atau sekitar 20 persen dari total barang yang dimuat untuk diperdagangkan. Tetapi karena alur perdagangan minyak mentah secara umum sangat spesifik berasal dari tempat dimana minyak mentah tersebut ditambang langsung ke tempat pengilangan berada, nilai strategis alur transportasi laut tersebut sepenuhnya berada pada apakah negara tersebut kaya minyak atau tidak dan dimana pengilangan-pengilangan besar dibangun; bukan berdasarkan posisi geografis dimana kita berusaha mencari jawaban di mana posisi strategis Indonesia pada awal tulisan ini. Disamping itu minyak mentah biasanya diangkut oleh kapal-kapal tanker raksasa yang tidak akan transit di pelabuhan atau alur laut yang dilewatinya. Sehingga hampir tidak ada keuntungan strategis yang didapat, kecuali kita seperti Mesir yang mengontrol Terusan Suez atau Panama dengan Terusan Panama-nya.

Saya akan mencoba mengerucutkan pembahasan saya pada satu bagian transportasi laut yang biasa disebut liner trade atau jalur perdangan yang dilayani oleh liner shipping yang memiliki jalur tetap dan jadwal tertentu (biasanya pelayanan ini menggunakan kontainer walau tidak seluruhnya). Hal ini saya rasa yang paling mendekati apabila kita ingin memahami posisi strategis Indonesia yang kita cintai ini pada peta perdagangan dunia.

Berdasarkan data IHS Global Insight Worl Trade Services, pada tahun 2010, Indonesia menempati posisi ke 8 pada peringkat negara peng-ekspor dengan menggunakan kontainer dengan jumlah 3 juta TEUS (satuan ekuivalen dengan kontainer 20 kaki) dan juga peringkat 8 untuk negera peng-impor dengan 2.5 juta TEUS.

Seharusnya angka tersebut sudah lebih dari cukup untuk menempatkan Indonesia pada posisi yang strategis.

Tetapi, karena jumlah 2.5 – 3 juta TEUS itu tersebar ke semua pelabuhan di Nusantara mulai dari Belawan sampai Ujung Pandang, kontainer-kontainer tersebut harus dikumpulkan ke suatu pelabuhan besar yang strategis untuk diangkut oleh kapal besar yang sayangnya pelabuhan tersebut tidak berada di Indonesia.

Kenapa pelabuhan tersebut tidak berada di Indonesia? Jawabannya dapat kita lihat pada peta yang terdapat pada tulisan yang saya sampaikan ini.

Peta tersebut menunjukkan rute alur transportasi laut antara Shanghai yang pada saat ini merupakan pelabuhan tersibuk di dunia menuju Rotterdam yang merupakan pelabuhan hub terbesar di Eropa. Jalur ini merepresentasikan salah satu jalur perdagangan terpadat di dunia, antara raksasa ekonomi di Asia Timur dengan negara-negara di Eropa yang melewati Asia Tenggara.

Terlihat jelas, posisi strategis Indonesia secara geografis, diwakilkan oleh bagian utara-barat Kalimantan dan timur Sumatera yang sayangnya bukan daerah industri utama di Nusantara.

Daerah industri utama yang pada saat ini berada di utara Jawa, ternyata berada “cukup jauh” dari jalur perdagangan dunia sehingga secara geografis berada pada posisi yang kurang strategis. Untuk menghampiri salah satu pelabuhan di Jawa, kapal-kapal besar yang melayani rute pelayaran ini harus melakukan deviasi yang cukup jauh, itupun kalau terdapat pelabuhan yang memiliki infratrsuktur memadai untuk melayani kapal-kapal besar tersebut.

Dari hal sederhana di atas, seharusnya para pakar dan teknokrat sudah mengetahui kenapa seolah-olah Indonesia menghilang dari posisi strategis alur pelayaran dunia.

Daerah-daerah industri dan pelabuhan-pelabuhan besar dibangun terpusat “menjauhi” jalur utama.

Pada saat Lee Kuan Yew diwawancara oleh koresponden asing pada tanggal 14 Agustus 1965 atau 5 hari setelah Singapura “dipaksa” merdeka, beliau mengatakan :

“Stamford Raffles chose Singapore. Why? It is the southernmost tip of Asia, and the world spins from West to East , and as it does that, the waters of the Pacific wash the shores of Singapore and the Straits of Johore”

Kata-kata beliau itu dengan cepat diterjemahkan oleh para pembantunya, bekerja keras dan telah membuat pelabuhan Singapura sebagai pelabuhan kontainer nomor 2 tersibuk di di dunia walaupun bisa dikatakan hampir tidak ada volume yang signifikan secara nyata masuk dan keluar negara tersebut. Hampir seluruhnya, volume yang ada datang dari pelabuhan-pelabuhan pengumpan negara-negara sekitar.

Sekarang kita memiliki pemimpin yang mengatakan Indonesia harus menjadi poros maritim dunia, diucapkan dengan bahasa yang sederhana tetapi dengan sorotan mata yang tegas.

Akankah para pembantunya bisa mengulang kisah sukses milik negara tetangga? Bekerja dengan benar-benar keras dan cerdas, tidak hanya sibuk mencitrakan diri dengan baju putih dikeluarkan dan lengan tergulung seperti sang pemimpin?

Malaysia telah memulai menyusul dengan Port Kelang dan Tanjung Pelepas yang telah menjadi pelabuhan tersibuk nomor 12 dan 19 di dunia di atas Tanjung Priok yang berada pada posisi 22 dan Tanjung Perak di peringkat 46. Walaupun volume ekspor dan impor kontainer Malaysia berada di bawah Indonesia.

Mampu memetakan dan mengerti apa yang harus dikerjakan, itulah kuncinya. Seperti yang saya sebut berulang-ulang di dalam tulisan saya terdahulu, Indonesia bisa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline