Lihat ke Halaman Asli

Selat Sunda, Jembatan Besi atau Jembatan Laut?

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Selat itu bernama Selat Sunda yang namanya diambil dari salah satu suku Nusantara yang mendiami bagian paling barat dari Pulau Jawa. Menghubungi 2 pulau terpadat di Indonesia, Jawa dan Sumatera, dengan pelabuhan Merak di sisi pulau Jawa dan pelabuhan Bakauheni di Sumatera. Mungkin 2 pelabuhan ini adalah 2 pelabuhan penyeberangan tersibuk di Nusantara.

Dengan jumlah lalu-lalang manusia dan barang yang semakin meningkat, tidak salah kalau sejak tahun 1960-an, Bung Karno sudah bermimpi untuk membangun jembatan yang menghubungkan pulau yang dulu kaya dengan emas sehingga diberi nama Swarnadwipa atau Swarnabhumi yang artinya pulau atau tanah emas, dengan Yawadwipa yang mungkin namanya diambil dari Jawawut sejenis biji-bijian yang konon dulu banyak tumbuh di pulau yang sangat subur ini dan menjadi makanan pokok masyarakat di Asia Timur dan Asia Tenggara sebelum budidaya padi dikenal.

Selat tempat Gunung Krakatau berada, yang letusannya pada tahun 1883 disebut sebagai suara ternyaring yang pernah di dengar dalam sejarah modern, sekarang juga “nyaring” disebut namanya setelah para menteri di kabinet Jokowi-JK memberikan sinyal pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) yang diimpikan oleh ayahanda ketua umum partai tempat Presiden Jokowi bernaung  tidak akan dimasukkan ke dalam program kerja setidaknya untuk 5 tahun masa jabatan ini.

Beragam alasan diungkapkan, mulai dari alasan bahwa jembatan tidak sesuai dengan program utama maritim yang digadang-gadang (walau saya masih gagal mencari apa hubungan antara JSS dengan program maritim Jokowi), ketimpangan wilayah barat dan timur, hingga masalah biaya yang terlalu besar.

Tidak terlalu banyak disentuh apakah ada kendala teknis yang mendasari keputusan tersebut, karena sebagai mantan mahasiswa “tukang insinyur sipil” saya berasumsi jembatan ini akan memberikan banyak tantangan kepada para ahli teknik sipil terbaik di negeri ini; mengingat bentang yang cukup panjang, kondisi geologis yang dekat dengan gunung Anak Krakatau yang masih aktif, berada pada daerah aktif gempa, ditambah kondisi angin yang cukup kencang terutama pada musim-musim tertentu sudah pasti bukanlah hal yang mudah. Tetapi seperti yang diyakini oleh semua engineer di seluruh dunia, “Scientist dream about doing great things. Engineers DO them!”, jadi itu seharusnya bukan sesuatu masalah yang tidak bisa dicarikan solusinya.

Ketimpangan wilayah barat dan timur, walau memang suatu masalah kronik besar negeri ini yang harus dicari solusinya, tetapi terlalu naif dan mengada-ada kalau seolah-olah cara untuk meningkatkan laju pertumbuhan wilayah timur adalah dengan menahan laju pertumbuhan wilayah barat. Wilayah timur harus berlari cepat, tumbuh dengan pesat bersamaan dengan wilayah barat yang harus tetap berkembang.

Saya rasa masalah utama adalah dana yang memang sangat terbatas. Konon, walaupun studi kelayakan resmi belum pernah dilakukan karena selalu tertunda pelaksanannya, pra studi kelayakan dari beberapa pihak mengatakan setidaknya dibutuhan dana USD 10 - 15 Milyar atau sekitar 1/3 – 1/2 dari total kekayaan Mark Zuckerberg yang baru saja mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan Sang Presiden pilihan rakyat.

Jadi sebenarnya, manakah yang terbaik, jembatan selat sunda atau mengoptimalkan pelayanan penyeberangan laut untuk menghubungi Sumatera dan Jawa?

Marilah kita melihat apa yang terjadi saat ini dengan kondisi pelayanan penyeberangan antara Merak dan Bakauheni yang sering kali dikeluhkan oleh para penggunanya.

Dari kaca mata sederhana, keluhan yang paling menonjol pada saat ini terdapat pada 2 dari 3 faktor utama dari sebuah pelayanan angkutan penyeberangan laut yang terdiri dari akses ke/dari pelabuhan, pelabuhan berikut dengan fasilitas dan manajemennya, beserta tentu saja kapal penyeberangan yang berupa kapal ferry penumpang dan kapal RORO.

Akses jalan ke dan dari pelabuhan, walaupun belum sempurna, bukan menjadi masalah utama yang menjadi kendala pada saat ini. Bottle neck atau sumbatan paling besar ada pada fasilitas dan manajemen pelabuhan dan kapal.

Rekayasa lalu lintas masuk dan keluar kapal dan pelabuhan termasuk lapangan parkir penampung kendaraan, efisiensi keluar/masuk dan bongkar/muat, proses penyandaran kapal yang lama terutama pada saat cuaca buruk, jumlah kapal yang terbatas dan rata-rata cukup tua secara akumulatif berdampak pada lemahnya pelayanan yang diberikan.

Semua kendala di atas, dengan adanya jembatan yang rencananya akan dibangun 3 lajur pada setiap jalurnya ditambah dengan jalur ganda kereta api, tentu dengan mudah akan teratasi. Proses sandar dan bongkar-muat yang memakan waktu lama akan hilang dan akan digantikan oleh proses membayar tiket tol yang hanya memakan waktu beberapa detik saja.

Kapasitas JSS dengan 3 lajur untuk masing-masing sisi ditambah dengan rel kereta api tentu sangatlah besar jika dibandingkan dengan kapasitas kapal dan pelabuhan yang ada, bahkan bila kapasitas yang ada sekarangpun ditingkatkan. Dalam ilmu rekayasa lalu lintas, kapasitas dasar jalan bebas hambatan berkisar di antara 2,000 – 3,400 kendaraan per jam tergantung dari alignment jalan tersebut apakah datar atau berbukit. Tidak mungkin kapasitas dasar pelabuhan dan kapal ditingkatkan untuk menyamai angka tersebut.

Jadi apabila dana bukanlah kendala, dari kaca mata teknis yang sederhana, JSS tentu pilihan yang jauh lebih baik. Sehingga kembali ke tulisan saya di atas, saya hampir yakin alasan utama kenapa pembangunan jembatan ini ditunda dan pemerintah Jokowi-JK lebih mengutamakan perbaikan fasilitas penyeberangan menggunakan kapal adalah sekali lagi karena masalah dana yang terbatas.

Walaupun banyak pihak swasta baik dalam negeri maupun asing menyatakan minatnya untuk berinvestasi, kehati-hatian pemerintahan Jokowi-JK sangat dimengerti, apalagi dengan pengalaman tidak optimalnya proyek 10,000 Megawatt yang dimotori oleh Pak JK pada saat beliau menjadi Wapres-nya Pak SBY pada periode pertama dan mangkraknya proyek monorail yang dananya tidak seberapa dibandingkan dengan JSS.

Secara politis, penundaan ini juga pilihan yang masuk akal. Masalah yang terjadi di Merak dan Bakauheni adalah masalah di depan mata, proyek JSS yang studi kelayakannya akan memakan waktu sedikitnya 2 tahun dan pengerjaan konstruksi yang mungkin akan berjalan 10 tahun lebih akan mengikis habis kesabaran para pengguna.

Bangsa kita walaupun terkenal sebagai bangsa yang ramah, bukanlah bangsa yang penyabar. Apabila para Bapak Bangsa kita orang-orang yang sabar, mungkin kita baru akan merdeka bersamaan dengan berdirinya negara federasi Malaysia di awal dekade 60-an.

Perbaikan fasilitas pelabuhan dan kapal, selain jauh lebih murah, juga jauh lebih cepat untuk memperbaiki masalah yang ada.

Selain itu sisa dana yang ada tentu sangat diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur lainnya untuk kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih besar.

Mari kita mencoba belajar bersabar, menunggu langkah-langkah selanjutnya dari Jokowi-JK dan para pembantunya, memberikan solusi terbaik untuk menghubungkan Jawa dan Sumatera, tanpa menganak tirikan pulau-pulau lain di Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline