Lihat ke Halaman Asli

Bob S. Effendi

Konsultan Energi

ESDM: Target EBT 23% Sulit Tercapai; Pintu Nuklir Terbuka

Diperbarui: 1 Juli 2017   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ESDM

Menteri ESDM, Ignasius Jonan, mengakui bahwa target 23% EBT pada 2025 sangat sulit di capai yang di sampaikan pada peresmian French Renewable Energy Group di KESDM pada tanggal 1 Maret 2017.  

Data yang baru di rilis oleh KESDM, tercatat per 2015 kapasitas terpasang EBT baru mencapai 6% dan dengan laju pertumbuhan hanya 0,36% per tahun, maka pada tahun 2025 hanya akan tercapai kurang dari 10%. 

Rendahnya laju pertumbuhan EBT tersebut menjadi lebih sulit dengan terbitnya PERMEN ESDM no 12 tahun 2017 yang menyebabkan rendahnya minat investor masuk dalam sektor EBT maka dapat dipastikan tanpa keraguan bahwa bauran EBT pada tahun 2025 tidak akan lebih dari 8% dari target 23%.  -- Hal ini akan menyebabkan target penurunan emisi sesuai dengan komitmen pada COP21 juga dapat di pastikan tidak akan tercapai. 

Sony Keraf, anggota Dewan Energi Nasional mengatakan bahwa rendahnya EBT terpasang karena kurang seriusnya serta telatnya pengembangan EBT oleh Pemerintah dan PLN . -- Apa yang di sampaikan oleh Keraf sama sekali tidak benar  -- Keseriusan Pemerintah dalam kembangkan EBT dapat di lihat dari banyaknya PERMEN ESDM dalam bentuk Fee-in-tarif yang keluarkan oleh menteri ESDM yang lalu, Sudirman Said, begitu juga berbagai seminar dan pendanaan yang di siapkan oleh pemerintah maupun lembaga multilateral, bahkan  EBT atau renewable adalah kata yang paling sexy dalam sektor energi nasional maupun global tetapi tetap target EBT tidak dapat tercapai. 

Tidak tercapainya EBT 23% sebenarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena BPPT sejak 2 tahun yang lalu sudah mengatakan bahwa maksimum EBT pada 2025 hanya akan tercapai 12,5% yang di tulis dalam BPPT Energi Outlook 2015 dan 2016 -- BBPT sudah sangat tegas bahwa target EBT tidak mungkin tercapai tanpa masuknya Nuklir, karena faktanya Nuklir adalah Kontributor energi nir-karbon terbesar di dunia, kecuali memang tujuannya bukan menekan emisi tapi anti-nuklir.

Berdasarkan PP 79/2014 bila EBT tidak tercapai maka untuk menutup gap 23% tersebut Nuklir perlu masuk dalam buaran energi. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Anggota DEN, Tumiran.

"Bagaimana nanti, ditunggu energi terbarukan prediksi di 2025 untuk mencapai target sebesar 23 persen. Kalau tidak bisa untuk menjamin pasokan listrik, kemudian masalah emisi dan keekonomian, ya nuklir opsi yang harus dipilih"

Mengapa Nuklir selama lebih dari 20 tahun maju mundur dan berpolemik sesungguhnya bukanlah masalah teknologi atau aspek keselamatan tetapi banyak pihak yang tidak paham dan mempolitisasi nuklir.  

Anggota DEN,  Dr. Andang Bachtiar

"selama ini disputenya selalu disitu, nuklir ini jadi apa ngak sih? tadi sudah jelas bahwa nuklir adalah keputusan politik bukan hanya keputusan teknologi, makanya kita harus membuat road map yang jelas pilihan terakhir itu seperti apa, jadi itu yang kita putuskan nanti kita berikan kepada Presiden dalam sidang paripurna dengan catatan tinggal Presiden yang memutusi, iya atau tidak, itu hal krusial" 

Dari penjelasan Dr Andang Bachtiar sangat jelas bahwa Nuklir adalah keputusan politik, permasalahannya selama ini semua Presiden Republik Indonesia selalu mendapatkan masukan yang tidak tepat bahkan dapat di katakan menyesatkan tentang Nuklir yang berakhir dengan keraguan Presiden dalam mengambil keputusan tentang PLTN.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline