Lihat ke Halaman Asli

Kebebasan Berpendapat atau Pendapatan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_87223" align="alignleft" width="298" caption="Bentrokan di Makassar"][/caption] Kebebasan berpendapat yang diinginkan oleh pihak media maupun masyarakat sesungguhnya patut kita dukung sebagai hak yang harus dimiliki dalam era demokrasi ini.  Kebebasan berpendapat yang tujuannya sebagai kontrol sosial tentunya memerlukan kontrol dari masyarakat juga agar kebebasan itu tidak dimanfaatkan dalam menghasut masyarakat untuk kepentingan kelompok tertentu. Belakangan ini, kebebasan media yang diberikan, tidak kecil perannya dalam eskalasi ketegangan politik dinegeri ini. Inilah yang perlu disikapi oleh masyarakat, rumor begitu cepat merebak walaupun belum tentu kebenarannya. Mungkin, dengan makin maraknya demonstrasi yang dinilai mulai anarkis dengan melakukan perusakan pada akhirnya menimbulkan kemarahan masyarakat. Situasi ini dimanfaatkan secara baik oleh pihak tertentu yang menginginkan kekacauan. Media yang mendapat kebebasan seolah mendapat berita yang paling aktual, lebih mementingkan nilai beritanya ketimbang dampaknya sehingga menimbulkan kecurigaan aparat terhadap media seperti yang terjadi di Makasar. Diperlukan saling memahami, media yang berfungsi sebagai kontrol sosial seharusnya mampu memilah dan bersikap dalam ketentraman bangsa ini. Jika keadaan ini tidak terkontrol, media yang memgang etika pemberitaan dan jurnalist profesional akan menjadi korban oleh ulah media yang tidak bertanggung jawab. Pembentukan opini masyarakat sangat mudah dalam membangun kebencian terhadap pemerintah. Kita lihat dalam kenyataannya, media televisi menganggap berita anarkis sebagai berita menarik yang sesungguhnya akan memancing tindakan serupa oleh pihak yang lain. Diperlukan saling pengertian, sebahagaian besar masyarakat tidaklah menghendaki kerusuhan. Sebab, dalam keadaan rusuh akan menyebakan hilangnya peluang investasi yang diperlukan dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa ini. Para Jurnalist yang bekerja pada media tentunya makin rusuh negeri ini makin banyak penghasilannya karena berita itulah sumber periuk nasinya. Tetapi sebahagian besar bangsa ini sangat tergantung nafkahnya dari keadaan damai. Jika kita melihat perilaku mahasiswa, tidak ada masalahpun sering tawuran, masalah itu dibuat oleh egonya masng2. Perilaku mahasiswa yang demikian tentunya sangat mudah dimanfaatkan oleh kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap pemerintahan. Demikian juga dengan etika wakil rakyat kita yang lebih kurang sama yang tentunya akan mempengaruhi perilaku mahasiswa dalam menyampaikan kebebasan berpendapat. Jika kita melihat lebih jauh lagi, perilaku pungli,korupsi, suap memang sudah menjadi bagian bangsa ini, pilkada maupun pemilu yang penuh dengan politik uang menandakan memang perilaku tersebut sudah masuh kedalam seluruh sendi masyarakat. Mengharapkan bersih, bersih hanya untuk penguasa tidaklah tepat sebab penguasa tersebut berasal dari masyarakat yang memang senang disuap. Tarip satu suara antara Rp 25 ribu sampai Rp. 100 ribu  bukanlah rahasia umum dan ketika orang menjadi penguasa haruslah bersih, hal ini tak lain hanyalah mencari celah dalam perebutan kekuasaan. Ormas banyak dibentuk oleh masyarakat, ormas inilah sebagai ujung tombak pengumpulan suara yang dimanfaatkan oleh politisi dalam perebutan kekuasaan selain partai yang memberikan tariff untuk mengusung namanya.  Inilah demokrasi yang berkembang, permainan uang makin menggila dan seharusnya dimulai dari masyarakat itu sendiri jika ingin negeri ini bersih. Ketidak jujuran, kemunafikan, kelicikan sudah merasuki semua sendi masyarakat, perasaan bangga jika menjadi PNS hanya mengeluarkan uang dibawah Rp. 100 juta karena trariff juga sudah berlaku untuk perkotaan jauh diatasnya. Kasus perbankan masa lalu yang diputihkan dengan membebankan kedalam APBN adalah sebuah tindakan pembiaran kehancuran negeri ini yang juga atas persetujuan wakil rakyat itu sendiri. Kasus2 suap para anggota dewan yang terhormat untuk perizinan atau pemilihan gubernur BI adalah contoh nyata didepan mata yang tidak tertutup kemungkinan dilakukan juga terhadap persetujuan anggaran negara. Kebebasan berpendapat yang belum berfungsi pada relnya, ketika para anggota dewan itu ditindak, opini langsung dibangun sebagai sikap balas dendam dan memancing polemik yang menghasut mahasiswa. Wajarlah jika pada akhirnya masyarakat bentrok dengan mahasiswa karena sikap yang dinilai tidak proporsional. Mestinya, penyampaian pendapat dilakukan lebih elegan untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline