[caption id="attachment_231874" align="aligncenter" width="300" caption="Mata Uang Rupiah (Sumber : id.wikipedia.org)"][/caption]
Beberapa minggu terakhir ini, mungkin kita sering mendengarkan gaung redenominasi rupiah. Banyak kalangan menilai ini adalah sebuah langkah yang maju dari pemerintah dan tidak sedikit pula yang mengkritik habis-habisan rencana ini.
Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan Redenominasi itu? Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya (Wikipedia.org). Orang awam mungkin juga masih kebingungan dan sering menganggap ini sebagai pemotongan nilai mata uang alias sanering.
Indonesia memang pernah melakukan Sanering atau dulu dikenal dengan istilah “Gunting Syafruddin” karena memang yang menetapkan kebijakan ini adalah Syafrudin Prawiranegara pada tahun 1950. Kebijakan ini bukanlah tanpa alasan mengingat pasca kemerdekaan ekonomi Indonesia pada saat itu sangat bergejolak. Hiper Inflasi dan utang negara yang menumpuk membuat nilai uang rupiah membumbung tinggi. Menurut kebijakan itu, “uang merah” (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua (Wikipedia.org). Namun hasilnya sangat efektif, terbukti waktu itu Rupiah semakin perkasa, harga kebutuhan pokok tidak naik, dan pemasukan kas negara berlipat-lipat.
Lalu apa bedanya dengan redenominasi? Sederhananya, redenominasi hanya mengurangi angka “nol-nya” saja, dibuat menjadi sederhana, tanpa mengurangi nilai. Nantinya,Rp 100.000 nilainya sama dengan Rp. 100. Hal ini berbeda dengan sanering yang menjadikan Rp. 100.000 “hanya” dihargai Rp. 50.000. Alasan kuat pemerintah adalah untuk membuat mata uang Rupiah “naik kasta” dan menjadi salah satu mata uang terbaik di dunia. Seperti kita tahu, mata uang rupiah saat ini masuk ke kasta “Junk” atau “Mata Uang sampah”. Selain itu, Redenominasi juga berakibat pada penyederhanaan Laporan Keuangan, mengingat saya sendiri yang mahasiswa akuntansi sangat dipusingkan dengan banyaknya “Nol” pada saat penyusunan Journal sampai Laporan keuangan.
Saya pun miris mendengarnya, namun kenyataannya memang mata uang kita banyak dilecehkan. Saya pernah memberikan hadiah uang Rupiah kepada teman saya Asli orang Australia sekadar untuk koleksi, karena memang dia suka dengan Indonesia. Waktu itu saya memberikan pecahan 2 ribu, 5 ribu, dan 10 ribu. Dia pun sangat kaget dan mengatakan “You are very generous man Bob, 17 thousand Rupiahs? that’s too much” saya sangat kaget mendengar pernyataannya mengingat 17 ribu saja bisa saya habiskan sekali makan di Bandung. Kemudian saya menjelaskan bahwa nilai uang yg saya berikan tidak lebih dari 2 AUD. Dia pun tersenyum dan memberikan saya 5 AUD yg kalau di kurskan sekitar Rp. 50.000. Saya merasa malu juga pada saat itu mengingat uang 50 ribu rupiah sangat berarti bagi sebagian orang -termasuk saya- hehehe.
Sebenarnya masih banyak pengalaman saya dengan teman - teman saya yang asli orang Bule. Namun saya malu menceritakannya, nanti saja ya kalau pemerintah sudah meredenominasi Rupiah.
Kunci keberhasilan Redenominasi adalah sosialisasi, di kota - kota besar mungkin masyarakatnya sudah terbiasa dengan harga Rp 10k, 50k, 100k. Namun masyarakat pedesaan masih awam soal ini, sehingga pemerintah perlu bekerja keras agar tidak menimbulkan shock di masyarakat. Kita bisa belajar dari pengalaman buruk Brazil dan zimbabwe yang gagal melakukan redenominasi sehingga makin memperparah keadaan dan kita perlu belajar banyak dari Turki yang berhasil meredenominasi mata uang Lira-nya sehingga menjadi salah satu mata uang yang disegani di dunia.
Salam satu Bangsa, Indonesia BISA !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H