Hari-hari ini Purbalingga sangat riuh sekali, karena banyaknya baliho-baliho yang tersebar disetiap sudut kota, desa dan dusunnya untuk memperkenalkan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati pilihan daerah kedepan pada tanggal 9 Desember 2020.
Agar kita memahami secara cerdas memilih pemimpin yang baik yang kelak menjadi pemimpin untuk Purbalingga. Kurang etis jika kita tidak memahami akar sejarah dari Purbalingga.
Karena dengan kita memahami sejarah Purbalingga, kedepan dapat kita kaitkan untuk menguatkan diri kita untuk memilih pemimpin di Pilkada 2020 nanti.
Memasuki awal pembahasan bahwa Purbalingga berasal dari bahasa Sansekerta, yang tergabung dari dua suku kata yaitu Purba dan Lingga. Purba berarti memimpin, atau seorang pemimpin, dan Lingga yaitu lambang atau simbol kekuasaan pria, sehingga sifat dan karakter nama 'lingga' ini penuh energi, seakan-akan tidak pernah istirahat.
Selain itu sifat dan karakter 'lingga' tersebut menurut studi ahli kepribadian, yaitu menggambarkan seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang. Atau kata 'lingga' juga merujuk pada nama Jimbun Lingga.
Jadi nama Purbalingga jika dimaknai sesuai dengan sudut pandang Sansakerta yaitu bermakna seorang pemimpin pria yang energik, penuh percaya diri, yang memiliki pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk orang banyak.
Makna ini mengacu pada sejarah yang tertulis, bahwa kabupaten Purbalingga memang belum pernah kepemimpinan daerahnya dimandatkan oleh seorang perempuan, terlebih jika di pilih langsung oleh warganya.
Adapun sekarang kepemimpinan kabupaten Purbalingga ditapuk oleh seorang Perempuan dikarenakan lanjutan estafet yang diberikan oleh ibu Dyah Hayuning Pratiwi dari bapak Tasdi
.Kalau kita flashback membuka kembali buku-buku sejarah dengan membacanya secara teliti, bahwa Purbalingga tidak pernah dipimpin oleh seorang perempuan termulai dari Kyai Tepusrumput, Adipati Onje II, Kyai Arsantaka, lalu R. Tumenggung Dipayuda III, R. Tumenggung Dipakusuma I, selanjutnya R. Tumenggung Bratasoedira (24 Juni 1830), R. Tumenggung Taruna Kusuma I (1 Agustus 1830), R. Tumenggung Dipa Kusuma II (22 Agustus 1831), R. Adipati Dipa Kusuma III (7 Agustus 1846), R. Tumenggung Dipa Kusuma IV (4 Sept 1869), R. Tumenggung Dipa Kusuma V (14 Februari 1868), R. Brotodimedjo (20 Nopember 1893-13 Sept 1899), K.R.A.A. Soegondo (29 Oktober 1925), dan Pasca Kemerdekaan di pimpin oleh Mas Soeyoto (1946-1947), R. Mas Kartono (1947-1950), R. Oetoyo Koesoemo (1950-1954), R. Hadisoekmo (1954-1960), R. Mohammad Soedjadi (1960-1967), R. Bambang Moerdharmo, SH (1967-1973), Letkol PSK Goentoer Daryono (1973-1979), Drs. Soetarno (1979-1984), Drs. Soekirman (1984-1989), Drs. Soelarno (1989-1999), Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si + Drs. Sotarto Rahmat (2000-2005)- (2005-2010), Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si+ Drs. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si (2010-2013), Drs. Sukento Ridho Marhaendriyanto,M.Si (2013 -- 2015), terakhir H. Tasdi, SH., MM.
Ini bukan menutup ruang "Emansipasi" tetapi tulisan ini hanya mengupas sejarah dari makna kata Purbalingga yang dilihat dari Sansakerta. Secara Psikologi menyoalkan tentang kepemimpinan bahwa kepemimpinan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Karena pada dasarnya perempuan dan laki-laki terlahir dengan penuh perbedaan.
Perempuan memiliki beberapa perbedaan dari sosok laki-laki baik dari fisik maupun bathinnya, laki-laki terbangun dari struktur otak, hormon dan juga skill untuk membangun efektivitas kepemimpinan.