Kadar kenegarawanannya para penyelenggara pemilu, tahun 2018 ini rupanya patut kita pertanyakan, lantaran telah terjadinya penangkapan baru-baru ini oleh jajaran Anti Money Politik Bareskrim Mabes Polri dan Satgasda Polda Jawa Barat, terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu di Kabupaten Garut (www.kompas.com/24/02/2018) lalu.
Menurut hemat saya di suatu daerah terpencil, saya melihat bahwa sebagian besar jabatan anggota KPU dan Bawaslu 2018, dari kalangan muda yang direkrut secara mendadak tanpa ada seleksi ketat terkait integritas.
Penyelenggara pemilu yang menjunjung tinggi kesucian demokrasi, pasukannya tak boleh haus terhadap yang namanya fulus. Sebab, jabatan itu terbilang sakral dan dipercaya oleh rakyat serta juga calon kandidat di saat ajang Pilkada serentak yang diikuti oleh sebagian besar rakyat NKRI.
Pada saat bersamaan sebagaimana kita ketahui bersama, penyelenggara pemilu memposisikan diri sebagai juri dalam final yang berlangsung sengit dengan volume supporter yang sama-sama membludak dari berbagai arah penjuru.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), KPU baru saja selesai menerima kritikan dari salah satu calon kandidat Gubernur 2018, nomor urut 4, Ali BD (Bin Dachlan). KPU NTB dinilai tak mengindahkan masa kampanye dan masa tenang di Pilkada kali ini. Seluruh baliho yang tanpa nomor urut dicabut dengan alasan pembersihan. Dampaknya sekarang, suasana demokrasi tampak sepi, hampa dan tanpa ruh persaingan visi-misi dan program.
Tim sukses merasa malas memasangkan alat praga kampanye di tempat semula. Lantaran harus membutuhkan papan/bambu dan paku selain tenaga. Baliho pun sampai saat ini belum diberikan kepada seluruh tim sukses di tingkat desa, RT dan RW.
Seperti diketahui, pemasangan baliho di tempat strategis merupakan kerja genius tim sukses di lapangan yang bekerja maksimal memperkenalkan calonnya di tengah-tengah masyarakat. Hal itu juga menandakan bahwa suatu zona, memiliki basis pemilih tersendiri dengan volume yang cukup besar dibandingkan dengan calon kandidat lainnya.
Secara akal sehat, antara wilayah basis pendukung masing-masing calon kandidat, antara yang punya nomor urut dengan yang tidak punya perbedaannya tidak terlalu tajam. Sebab, rakyat sudah lama mengenal sosok dan raut wajah calonnya masing-masing. Tetapi pencabutannya menimbulkan dampak yang signifikan. Baik bagi calon, tim sukses, simpatisan dan pemilih. Karena memasang baliho, tak lepas dari kesepakan kecil tim paling bawah (RT/RW) dengan tim tingkat desa bahkan kabupaten. Tetapi mencabutanya tak memerlukan konsolidasi, koordinasi dengan tim di tingkat RT/RW dan masyarakat setempat.
Rupanya penyelenggaraan Pemilu kita saat ini, mengurangi koordinasi pada hal dan persoalan yang tak berurusan sama uang. Sebab, koordinasi antara calon kandidat dengan KPU serta Bawaslu, sangat renggang dan tak berjalan harmonis. Rupanya saat ini uang menjadi acuan menjalin kerjasama yang intensif antara pemain dan juri. Dalam hal ini, rakyat yang baru melihat dan mengenal calon yang akan dipilihnya terkaget-kaget lantaran baliho di depan rumahnya sudah dicabut yang sampai saat ini belum dipasang kembali.
KPU diberikan wewenang mengatur jalannya proses demokrasi berjalan adil, tertib, rahasia dan lancar, bukan bertindak sewenang-wenang di saat biaya demokrasi sangat mahal menghabiskan miliaran rupiah dengan berupaya menerima suap, dari salah satu calon kandidat yang memiliki kepentingan.
Tergiur